Thursday, August 12, 2004

GAMELAN

Friday, London, 6 Feb 04


Aneh juga rasanya kalau berada di negeri yang jauhnya ribuan mil dari rumah, tapi bisa mendengar alunan gamelan. Uniknya gamelan ini bukan ditabuh oleh orang-orang yang patut bernama Joko atau Endah, tapi kali ini pemain-pemainnya bernama John, Maria atau Isabelle. Ini yang saya temukan di Royal Festival Hall, Southbank.

Salah satu pemain yang belakangan saya tahu bernama Maria, pandai sekali menembang dengan cengkokan yang benar-benar sempurna, ibarat mendengar tiruan Ibu Waljinah. Tidak hanya itu saja yang membuat saya terkagum-kagum. Saat saya sedang ngobrol dengan Aris, satu-satunya wajah Joko di grup gamelan ini, nona Maria tiba-tiba melintas di depan kami sambil membungkukkan badan, ibarat saya kalau harus melewati dua orang yang saking berhadapan dan berbicara, kalau tidak mau kena semprot almarhum Mbah Putri saya.

Ada lagi yang membuat saya tersenyum. Saat saya duduk dan siap-siap mendengarkan mereka latihan gamelan, tiba-tiba londo-londo ini berbicara bahasa Jawa satu sama lain. Sayangnya saya tidak bisa menangkap apa bahasa Jawa halus atau kasar. Dalam hati saya bilang, jangan-jangan setelah ini masuklah Pangeran Charles ngomong Kromo Hinggil…

Dunia kadang memang terbalik. Entah negara saya yang terlalu kebarat-baratan dan membuat orang-orangnya berusaha keras menjadi John Wayne, atau memang budaya kita ini sedemikian luhur sampai-sampai orang barat pun mendalaminya. Baru kerasa saat salah satu pemain duduk di sebelah saya sambil bertanya siapa saya. Saya jawab dengan bahasa londo itu bahwa saya mahasiswa. Dia bertanya saya berasal dari mana. Saya bilang dari Jawa Tengah di mana gamelan di depan kita berasal. Otomatis dia menebak saya orang Yogyakarta. Hmmm, turis benar, piker saya, meskipun dia memang benar, karena satu set gamelan lengkap di depan kami itu memang gamelan Yogyakarta. Saya menerangkan bahwa saya berasal dari kota kecil yang jaunya sekitar dua jam perjalanan mobil dari Yogyakarta. Saya tidak berpikir apa-apa saat menyebut nama Kebumen dan bermaksud menjelaskan di mana letak geografis kota asal Ibu saya itu.

Herannya dia malah langsung menyebut, oooo, Kebumen yang kota ng-genteng itu ya. Ealah, sudah tau banyak, masih ditambah dengan penekanan ng sebelum kata genteng dan pelafalan t yang Jawa kental. Setelah itu dia langsung nyerocos pake bahasa Jawa. Saya mengerti apa yang dia maksud, sambil berpikir keras mengingat-ingat kosakata bahasa Jawa saya yang sangat minim agar bisa menjawab si londo ini. Toh akhirnya yang keluar adalah bahasa londo itu juga dari mulut saya.

Konon gamelan mempunyai notasi yang lebih rumit dibanding alat-alat musik lainnya di dunia. Menurut website salah satu koran terbesar di Inggris, the Guardian, formasi gamelan Jawa adalah formasi yang paling rumit dan kompleks di seluruh dunia sebelum musik klasik Barat dan musik India Utara.

Anehnya yang membuat riset tersebut adalah seorang ahli dari Wesleyan University di Connecticut, di negara Paman Sam. Namanya Heather Jennings. Tambahan Jenning lagi, tidak semua musik kompleks itu enak didengar, karena apabila satu sama lain saling bersahut-sahutan, maka kedengarannya hanya semacam bunyi yang berisik. Maksud Ibu Jenning ini agaknya menekankan bahwa gamelan ini sangat menarik karena meski bunyinya saling beradu satu sama lain dan kompleks, tetapi terdengar enak di kuping.

Sayangnya malam ini saya tidak bisa mendengarkan lantunan gamelan secara komplit, karena mereka sedang latihan persiapan manggung tanggal 27 Feb. Lagu yang dibawakan bukan alunan macam Kebo Giro atau tembang-tembang Jawa di kaset yang diputar saat kawinan Jawa, tapi judulnya keren benar John Adam Orchestra. Mungkin ini salah satu pelajaran juga buat orang kita, supaya jangan sampai nantinya pada saat semua orang kita kepingin jadi John Wayne atau Madonna, dan tiba-tiba kepingin sekali-sekali menikmati gamelan Jawa. Bukannya lari ke Kraton Kasunanan malah terbang ke London dan bayar ribuan dollar. Tapi kalau memang gengsi yang dipilih, bukan tidak mungkin orang kita berlaku demikian…