Thursday, August 12, 2004

ALL ENGLAND

Birmingham, 17 Maret 2004


Kalau dulu saya senang sekali liat jagoan bulutangkis Indonesia macam Liem Swie King, sampai era spektakuler si penentu Piala Thomas, Hastomo Arbi lewat layar kaca, tahun ini saya ternyata berada di tengah-tengah bangku supporter di gelanggang All England yang berlangsung di Birmingham.

Bak mimpi, even olahraga bergengsi ini ada tepat di depan mata. Dengan biaya minim karena uang beasiswa yang pas-pasan, perjalanan London-Birmingham dilandasi dengan semangat menggebu-gebu untuk menyaksikan para pebulutangkis kita berlaga, selain tentunya juga bertemu dengan teman-teman senasib sepenanggungan, calon-calon pemimpin Indonesia masa depan penerima beasiswa.

Meski Birmingham tidak seindah London atau secantik Bath, namun paling tidak, saya melihat sisi lain dari Inggris Raya. Birmingham si kota industri yang hanya memiliki satu fasilitas sirkulasi publik,bis kota (itupun datangnya tidak ketahuan jadwal). Atau kalau mau borju sedikit, meniru gaya Jakarta, kemana-mana naik taksi. Inipun dieksekusi dengan jalan patungan, walhasil jadinya sama dengan naik bis karena berdesakan dengan 5-6 orang rekan pelajar.

Yang paling menarik dari kota Birmingham sendiri adalah patung kerbau yang berdiri dengan gagahnya di tengah-tengah perbelanjaan dekat si mall megah Bull Ring, yang arsitekturnya ibarat motif polkadot rok Ibu saya jaman baheula. Kami memelesetkan namanya menjadi “banteng PDIP’.

Meski kami yakin tak satupun pemain Indonesia punya kans masuk final, namun menghadiri kejuaraan All England (mumpung lagi belajar di Inggris, katenye…) merupakan satu prestasi tertentu bagi pelajar Indonesia. Rame-rame berdiri di balkon, joget-joget, memberikan semangat pada pebulutangkis kita dan tentunya….masuk TV Inggris yang hak siar-nya dibeli TV7 adalah tujuan utama. Biar sanak saudara melihat. Tentunya dengan jalan mengirim pesan lewat SMS agar mereka bersiap-siap melotot depan TV menunggu kamera dialihkan ke bangku penonton.

Memang senang sekali rasanya bisa mengibarkan bendera merah putih di luar negeri. Meski akhirnya pemain kita kalah telak semua, termasuk jagoan kita yang selebritis, Taufik Hidayat, paling tidak, bergaya di TV sudah menjadi satu kepuasan sendiri. Apalagi kalau terima pesan SMS dari Jakarta yang bunyinya “hei, ngapain lu di Birmingham?”…dan setelah itu bisa pulang ke rumah dengan lega….

Kalaupun Indonesia Raya tidak berkumandang di Inggris Raya, paling tidak, Birmingham di bulan Maret 2004 bisa menjadi suatu kenangan yang tak terlupakan. Kenangan indah masa-masa jadi pelajar biaya minim. Toh, suatu hari pasti ada gunanya, untuk menyombongkan diri misalnya, apabila kepepet tidak punya sesuatu yang dibanggakan..”oh, saya pernah nonton All England di Birmingham tahun 2004.” Hidup Indonesia!