Tuesday, April 24, 2007

PIJATHERAPY

Solo, 24 April 2007

Suatu malam saya mendapatkan telepon dari sahabat lama di London yang kini berprofesi sebagai wartawan di BBC TV. Tentu saja saat itu saya tidak menduga sama sekali bahwa sahabat saya itu masih setia menyimpan nomor telepon saya setelah hampir tiga tahun berpisah. Dari nostalgia masa kuliah dengan teman-teman dari antero dunia yang kumpul di kelas kami, hanya satu hal yang dipertanyakan olehnya.

“Luv, you sound very happy in Indonesia. Is it because you live in a luxurious live with your luxurious spa and massage?”

Saya tertawa dan jadi teringat akan pembicaraan terakhir di bar mahasiswa dengan sahabat saya itu. Saya bilang betapa saya tidak ingin kembali ke Indonesia, dan hanya spa dan pijat yang membuat saya kangen akan negeri sendiri. Saat itu semua teman semeja mengira betapa mewahnya hidup saya di Indonesia.

Tentu saja saya dijuluki sebagai "Asian chick with her highest maintenance" hanya karena saya bercerita betapa meresahkannya hidup setahun tanpa pijat dan perawatan tubuh, sementara di Indonesia saya bisa sebulan sekali atau bahkan seminggu sekali pergi ke salon hanya untuk krimbat dan pijat.

Coba mereka tahu perbandingan harga pijat di sini dengan di London. Saya pernah ke pusat perbelanjaan murah di daerah Oxford Circus. Di satu sudut dekat pakaian wanita, ada stand pijat untuk leher. Pelanggan duduk membungkuk dan dipijat selama 30 menit. Harganya 30 pondsterling atau hampir mencapai Rp. 300,000. Saat itu saya merasa sangat bersyukur karena tak lama lagi dengan jumlah rupiah yang sama, saya dapat masuk ke dalam bath tub setelah dipijat oleh mbak-mbak yang bertangan lembut selama satu setengah jam.

Ada lagi teman saya yang ikut suami bertugas ke Nigeria. Satu-satunya yang ia keluhkan adalah, tidak bisa pijat dan kalaupun ada, harganya selangit dan belum tentu enak.

Siapa yang tidak pernah pijat? Paling tidak dari kebanyakan teman-teman dan kolega saya semua pernah merasakan pijat dan menjadi bagian terpenting dari sistim tubuh. Kalau sudah dua minggu kerja keras dan kelelahan, yang dipikirkan hanyalah pijat. Bisa pijat dengan si mbok di rumah sampai ke spa-spa mewah dengan harga dan layanan bersaing yang tersebar di Ibukota.

Saat tugas ke Solo, seorang rekan penyiar pria dari stasiun televisi swasta kebetulan tinggal di hotel yang sama yang kebetulan memiliki fasilitas spa. Menurut beliau, saat check in, sudah merupakan hal yang wajib untuk mencoba spa hotel. Tidak tanggung-tanggung, layanan yang ia coba adalah pijat lengkap dengan scrub, aromatherapy dan lulur.

Mengapa hidup kita tidak lepas dari pijat? Menurut saya, penyakit masuk angin yang sampai sekarang tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa Inggris itu, merupakan penyebabnya. Hampir setiap orang Indonesia pernah menderita masuk angin. Hanya dengan pijat angin bisa dikeluarkan dengan sendawa ataupun buang air di toilet. Pijat jadi melancarkan peredaran darah dan fungsi organ tubuh. Secara teoritis, tidak bisa saya jelaskan karena itu bagian teman-teman yang jadi dokter. Tapi suatu pengalaman pribadi selain masuk angin bisa jadi masukan.

Suatu hari saya menderita salah urat di pinggang. Mau bergerak susah, mau duduk pun terasa nyeri. Saat itu teman kameramen yang kebetulan orang Inggris juga dan beristrikan orang Indonesia, menyarankan agar saya melakukan fisioterapi di klinik di daerah Kuningan. Setelah dua kali saya menjalankan terapi dengan bayaran mahal, saya menyerah karena sakitnya tidak berkurang.

Akhirnya, saya mengikuti anjuran teman yang hobby menyelam. Menurutnya, setiap kali setelah ia menyelam, ia selalu memanggil tukang pijat “resmi”nya. Saya masih ingat, si tukang pijat dipanggil dengan nama mama Lea. Asalnya dari Maluku.

Dengan teriakan selama satu jam karena sakit yang luar biasa, tangan-tangan mama Lea mengalahkan kecanggihan teknologi fisioterapi. Harga yang saya bayarpun sepertiga dari terapi. Keesokan harinya, saya bisa duduk dan berjalan seperti biasanya.

Saat saya bertemu dengan teman saya si penganjur fisioterapi, ia bertanya bagaimana keadaan saya karena kami akan segera bertolak ke daerah untuk shooting dokumenter. Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan merasa sangat segar setelah bertemu dengan mama Lea. Jawaban dia hanya singkat.

“Very typical. You sound like my wife.”

Well, I guess we all can’t live without massage, luv! We are the bloody luckiest people!