Saturday, August 14, 2004

GAMELAN TAK HANYA MUSIKAL

London, 13 Agustus 04

Tugas membuat feature televisi ringan sebagai salah satu tugas terberat di departement saya menggiring saya untuk menjadi lebih tahu soal bagaimana perkembangan gamelan di Inggris Raya. Saat mengetahui dari dedengkot Southbank Gamelan, Alec Roth bahwa si ahli gamelan di Inggris adalah Neil Sorrell dari University of York, saya langsung membaca bukunya yang berjudul "Introduction to a Gamelan". Cuma memang buku tersebut lebih dikhususkan bagi calon penabuh.

Walhasil, karena tertarik untuk mengetahui mengapa jumlah kelompok gamelan di seluruh Inggris Raya termasuk Irlandia Utara mencapai 102 kelompok, maka saya memutuskan untuk membuat feature televisi soal perkembangan gamelan di Inggris.

York Minster, gereja tua di kota York nan indah menjadi saksi kedatangan gamelan. Gamelan "mendarat" di Inggris atas prakarsa Bapak Neil Sorell, pengajar instrumen gamelan di University of York 22 tahun yang lalu, tepatnya pada saat Paskah. Sebelum menjadi pengajar di universitas yang lebih terkenal dengan departemen biologi-nya tersebut, Neil mendalami musik di Amerika. Kecintaannya pada gamelan dimulai pada saat ia belajar menabuh di negara Paman Sam tersebut dan akhirnya ia semakin cinta dengan gamelan setelah mendalaminya di Jawa. Bagi seorang Neil Sorrell, gamelan sudah berbuat banyak kepada masyarakat yang mendengarnya, terutama saat dijadikan musik pengiring wayang kulit, Neil menjadi lebih terpesona akan luhurnya musik tersebut. Meski pertama kali mengalami kesulitan untuk mengimpor perkusi tersebut akibat keterbatasan biaya (menurut seorang pengajar tari di kursus tari Indonesia di London, harga seperangkat gamelan bisa mencapai 500 juta rupiah), akhirnya lampu hijau diberikan oleh universitas setelah para akademisi diyakinkan akan bergunanya musik ini bagi masyarakat.

Neil Sorrell sendiri memperkirakan bahwa perkembangan gamelan di Inggris sudah melebihi negara-negara yang sudah terlebih dahulu mengimpor alat musik kelompok tersebut, seperti, Amerika Serikat, Belanda, Jepang.

Memang gamelan bukan hanya sekedar instrumen musikal semata. Kenyataannya setelah masuk ke Inggris Raya, gamelan dijadikan sebagai alat untuk pendidikan musik untuk tingkat yang lebih tinggi lagi. Misalnya di Royal School for the Deaf and Communication Disorders, Manchester, gamelan Jawa dijadikan alat perangsang murid yang mengalami kesulitan berkomunikasi, misalnya tuli, untuk merangsang kepekaannya terhadap bunyi. Resonansi yang dikeluarkan gamelan ternyata lebih besar ketimbang alat musik perkusi lainnya.

Selain itu, gamelan juga diperkenalkan kepada napi di beberapa penjara di England. Cath Eastburn yang juga anggota utama kelompok Southbank memberikan ide tersebut. Menurutnya, sifat communal dari gamelan memberikan kesempatan kepada para napi untuk menyumbangkan sesuatu dalam satu kelompok. Pada intinya, setalah para napi ini kembali ke masyarakat, mereka mempunyai kepercayaan diri untuk memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat atau paling tidak mereka sudah mempunyai satu keahlian yaitu menabuh gamelan. Tidak tanggung-tanggung, musim panas 2003 para napi bahkan sudah mengeluarkan album mereka yang berjudul "Good Vibration Gamelan in Prison". Dalam salah satu komposisi musik, mereka menembang bersama.

Keunikan gamelan menarik perhatian para penentu kebijakan di England untuk memperkenalkan musik perkusi ini kepada anak-anak sekolah dasar. Caranya adalah dengan memasukkan gamelan ke dalam kurikulum World Music di setiap sekolah dasar. Menurut Tony Knight, pakar musik dan kebudayaan dari Dinas Kurikulum Inggris, gamelan juga merupakan sarana memberikan pengetahuan kepada para murid untuk mengenal alat musik lain selain musik modern seperti piano ataupun gitar.

Saat melihat workshop yang diadakan di Southbank, murid-murid dari Sekolah Dasar Bessenger Grange kelihatan antusias untuk menabuh perkusi masing-masing. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka menyukai kegiatan tersebut.

Di beberapa universitas di London, gamelan juga sudah dijadikan subyek di departemen musik. Di City University, misalnya, ada 3 jenis gamelan yang diajarkan, Degung, Gamelan Jawa dan Gamelan Bali. Dosen pengajarnya adalah Andy Channing, seniman yang menurut Neil Sorrell hidup matinya adalah untuk gamelan dan dikonotasikan sebagai orang yang bahkan kalau tidur mendekap gamelan.

Anehnya, di KBRI sendiri tidak ada seperangkat alat gamelan. Yang saya temukan hanya satu gong yang sesekali dipukul untuk membuka acara-acara seremonial. Gamelan milik KBRI sekarang disimpan di School of Oriental and African Studies, SOAS dan boleh dipinjam untuk keperluan kelompok-kelompok gamelan. Menurut rumor yang beredar di kalangan seniman Indonesia yang tinggal di London, dulu (tidak pasti kapan waktu sebenarnya), KBRI mempunyai kelompok karawitan sendiri yang ajaibnya, menyewa guru galeman bule. Setelah beberapa lama vakum, perangkat gamelan tersebut seperti dibiarkan begitu saja, dan bahkan karena tidak ada yang memakai, hampir dibuang. Entah inisiatif siapa yang menyuruh agar gamelan disimpan di SOAS dan berguna bagi kelompok gamelan untuk ditabuh.

Yang jelas, dari 102 kelompok gamelan, Southban Gamelan memang yang paling aktif manggung. Mereka berdiri sejak tahun 1989. Kebanyakan anggotanya pernah menempuh pendidikan musik di Solo. Masing-masing anggotanya pun punya gawe-an masing-masing dan masih berputar di gamelan juga. Mengapa mereka begitu berdedikasi? Apakah karena menjadi penabuh gamelan bisa kaya di Inggris. Menurut John, penabuh gamelan Southbank yang pernah belajar gamelan di Solo, menjadi penabuh gamelan tidak menjanjikan uang yang banyak. Sama saja seperti di negara asal gamelan. Apalagi untuk kota mahal seperti London, hidup dari gamelan berarti perjuangan.

Sebagai tambahan, Southbank Gamelan juga mengadakan kursus gamelan bagi orang dewasa dan anak kecil. Jumlah muridnya juga tidak bisa dikatakan sedikit. Jadi, sebenarnya di negara orang, gamelan sudah menjaring peminat untuk mengembangkan alat musik tradisional kita. Bagaimana dengan Indonesia?