Tuesday, March 29, 2005

MARRIED TO THE...??

Senin, 28 Maret 2004

Tergelitik juga akhirnya saya menulis topik yang buat saya sensitif ini. Bukan kenapa-kenapa, tapi lantaran ada seorang sahabat yang baru saja bercerai setelah lebih dari lima tahun menikah. Yang membuat saya shock adalah baik sahabat saya dan pasangannya bukanlah tipe yang macem-macem. Ibarat rel kereta, mereka selalu berada dalam jalur yang ditentukan (oleh masyarakat dan budaya). Dan yang saya tahu dari masa kuliah dulu, mereka benar-benar jatuh cinta dan saling setia pada pasangan.

Tidak etis membahas mengapa kedua sahabat saya tersebut memutuskan untuk berpisah setelah cinta pernah ada pada diri mereka, karena bukan itu point yang ingin saya bahas. Menikah kata sebagian orang yang berpatokan dengan nilai religius adalah ibadah. Sebagian lagi karena tidak mau hidup sendiri. Beberapa lagi ingin menghalalkan suatu hubungan. Dan sebagian lagi karena kepepet, abis temen-temen gue udah nikah, masa gue belom??? Bak takut tidak masuk dalam sebuah sterotype.

Buat saya sendiri menikah bukanlah satu tujuan akhir, tapi justru awal dari sesuatu yang lain. Meski kadang saya berpikir, mungkin enak juga menikah, tapi hal ini lebih didasarkan pada curiosity saya. Maklum sebagian besar teman saya sudah menikah dan punya anak. Mereka kadang mengeluh atau berbagi kebahagiaan dengan saya. Ada yang mengeluh karena dengan menikah, sang suami atau istri jadi nggak mesra lagi karena sudah biasa, ada juga yang bilang, menikah itu nggak enak, soalnya jadi nggak bebas, atau, menyesal menikah karena akhirnya menemukan orang lain yang lebih sreg. Tapi ada juga yang sudah sekian lama menikah, tetap jatuh cinta dengan pasangan dan bahkan semakin jatuh cinta dan tak bisa membayangkan hidup tanpa pasangannya. Jadi karena banyak mendengar berjuta-juta suka dan duka menikah, saya jadi ingin tahu bagaimana pola menikah itu sebenarnya.

Apa sebenarnya definisi menikah? Ada seorang teman yang mengatakan, menikah itu adalah ibarat cerita dongeng atau fairy tale. Karena lebih banyak susahnya dibanding senangnya. Tapi saya tidak percaya begitu saja, karena teman saya ini gagal juga pernikahannya. Atau seorang teman perempuan yang sudah menikah, yang sedang meniti karir di dunia hiburan, mengatakan bahwa hidup single itu jauh lebih menyenangkan, karena bisa berbuat apapun tanpa harus mempertimbangkan keadaan pasangan. Dengan wise-nya teman saya ini mendukung tindakan saya yang tetap melajang sampai sekarang, dan memberikan dirinya sebagai contoh akibat menikah. Buat saya yang mengenal dia, adalah karena ketika dia dulu single, dia belum puas main saja. Makanya sekarang mengimpikan dunia selibat dan jadi agak seperti kuda lepas.

So, susah memang mengartikan secara intelektual makna menikah itu. Kalau kawan lama saya menulis di blog-nya, menikah itu ibarat punya KTP, kalau tidak punya, bisa dianggap melanggar peraturan, atau punya KTP karena semua orang punya, masa gue enggak?

Ada benarnya, itulah mengapa saya belum tergerak untuk menikah tidak peduli bila keadaan sekitar memaksa. Misalnya karena teman-teman saya menikah, atau karena takut dianggap tidak laku. Kalau nanti saya menikah, tandanya saya memang pengen menikah dan menemukan seseorang yang tepat. Tapi bagaimana sebenarnya orang yang tepat itu pun saya sendiri tidak tahu. Buat saya bohong kalau ada yang bisa menceritakan, orang yang tepat untuk diri mereka itu yang bagaimana. Kadang bisa salah duga kok, kirain tepat, tidak tahunya tepu…Saya rasa, orang yang tepat itu tidak bisa main tunjuk, misalnya, oh si anu lulusan luar negeri, makanya dia tepat untuk saya. Itu mah ditepat-tepatin…demi standar image building.

Sekarangpun apabila bertemu orang lama, pertanyaan klasik sesudah apa kabar adalah, “Sudah menikah?” Saya tidak keberatan menjawabnya. Malah senang membuat orang bingung dan prihatin karena sudah seumur gini kok masih sendiri. Hey, what’s wrong with my age, darling?

Lucunya saya dan teman saya pernah berjalan di mall dan bertemu teman lama dan bertanya kepada teman saya. Sama seperti pertanyaan di atas. Jawaban teman saya adalah, “Sudah, tapi sudah cerai. Dan mau menikah lagi bulan depan.” Saya menahan senyum karena memang kebetulan teman yang saya ajak jalan itu memang bercerai dan akan menikah lagi.

Trend nikah-cerai yang melanda selebritis Indonesia juga melanda dunia sekeliling kita. Kata pakar psikologi, kebanyakan anak-anak sekarang lebih memprioritaskan kebahagian pribadi, so kalau pada saat menikah, kedua pihak tidak berbahagia, maka diputuskan untuk kembali melajang demi kebahagiaan pribadi. Jadi, kalau jaman dahulu, orang mempertahankan pernikahan karena tekanan dari lingkungan sekitar dan budaya yang memaksa orang untuk mengganggap bahwa menikah itu adalah sekali seumur hidup, sehingga kalau pernikahan gagal, maka dianggap jelek kerena melenceng dari struktur tata nilai masyarakat. Jaman sekarang, milai-nilai itu sudah bergeser, meski tidak banyak. Ketidakpedulian akan penilaian masyarakat adalah akibat tumbuhnya kepercayaan diri selain tendensi untuk lebih mandiri dalam berpikir dan bertindak juga salah satu faktor. Jadi bukan semata karena alasan, yang penting hepi...

Sudahlah, saya sendiri tidak mau terlalu banyak beropini soal menikah karena sampai sekarangpun saya tidak pernah tahu definisinya. Tapi apapun, menikah ataupun being single ada plus-minusnya. Tergantung bagaimana cara dan kreativitas menikmatinya. Jadi, nikmatilah pernikahan Anda, dan juga nikmatilah ke-single-an Anda...