Monday, January 31, 2005

KONTRAKAN SI JAZZY

Jakarta, Rabu 26 Januari 2005

Sempat selama beberapa bulan hidup di rimba jalanan Jakarta yang padat dengan tingkat mobilisasi saya yang tinggi tanpa kendaraan membuat saya kerap mengeluh akibat kocek yang terkuras habis untuk bersirkulasi dengan taksi. Akibatnya saya merindukan “si hitam” produk KKN si Tommy Suharto yang kerap menemani saya selama dua tahun.

Kerja sebagai tenaga lepas yang kerap wara-wiri dari satu tempat ke tempat lain memang tidak mudah apabila tidak ditunjang dengan sarana kendaraan pribadi. Setelah si hitam saya jual menjelang keberangkatan demi tugas belajar ke luar negeri, akhirnya si hitam kesayangan saya tergantikan dengan si funky Jazzy keluaran Jepang.

Kehadiran si Jazzy di garasi rumah membuat saya sangat bahagia bisa menyalurkan hobi menyetir. Saking senangnya saya langsung membawa Jazzy ke pom bensin terdekat dari rumah. Keluh kesah saya terjawab apalagi karena saya tidak pernah membayangkan bisa memiliki produk mobil yang brand new ibarat kue yang fresh from the oven, dan saya bayar dengan keringat sendiri.

Peningkatan taraf hidup juga bisa terlihat dari pilihan saya terhadap penggunaan bensin untuk si Jazzy ini. Kalau dulunya si hitam saya beri makan dengan premium, si Jazzy saya ini saya beri dengan bensin yang satu level di atas premium yang belum lama harganya dinaikkan oleh Pemerintah. Saya hanya membayangkan, betapa mudahnya hidup saya ke depan nantinya karena punya kendaraan pribadi apalagi yang masih gres! Sementara di benak saya terlintas good bye pontang panting cari taksi di jalanan dengan barang-barang saya yang notabene banyak, mulai dari laptop sampai kantung laundry. Duh, rasanya susah sekali hidup saat itu!

Saat mengisi bensin, saya kerap memperhatikan si Jazzy dengan pandangan penuh cinta ibarat mendapat pacar baru atau bahkan saat mata berbinar-binar memandang sang first date. Saat pikiran melayang, si penjaga pom bensin berkomentar sambil memandang meteran yang berjalan seiring dengan dipindahkannya sang pertamax ke tangki si Jazzy dan tertawa,”Lah, kok banyak sekali ya, Mbak. Ini buat berapa hari segini?!”

Saya melirik ke meteran yang sudah hampir mencapai angka seratus ribu dan mengatakan kepada si Bapak, bahwa memang tangkinya sudah hampir kosong dan mengeluarkan argumen, however, betapa iritnya penggunaan bahan bakar akibat teknologi baru yang dimiliki si Jazzy, so dengan harga sekian bisa jadi seminggu lebih saya tidak perlu lagi membeli bensin.

Saat meteran melampaui angka seratus ribu, si Bapak seolah menunggu bahwa sesaat lagi tangki si Jazzy akan penuh dan meteran akan berhenti. Namun bahkan sampai meteran mencapai angka seratus dua puluh ribu, si Jazzy tidak memberi tanda-tanda perutnya sudah penuh. Si Bapak semakin membelalakkan matanya saat meteran mencapai hampir seratus tigapuluh ribu dan tertawa terbahak sampai angka seratus empat puluh ribu. Dia masih tertawa saat akhirnya si meteran berhenti di angka hampir seratus lima puluh ribu karena perut Jazzy sudah penuh. Saya pikir mengapa juga si Bapak tertawa, karena tidak ada yang aneh dengan angka tersebut karena harga bensin yang naik. Saya tidak tanggapi dan mulai menghitung uang di dompet saya agar sesuai jumlanya dengan meteran.

Si Bapak mengemasi selang pengisi bensin ke tempatnya sambil terus tertawa dan mengatakan,”Waduh, Mbak, ini sih kontrakan (rumah) saya sebulan!”

Muka saya seperti ditinju saat mendengar komentar si Bapak yang sangat polos saat mengucapkan kalimat tersebut. Saat menyerahkan lembaran uang dua ratus ribu saya memandangi uang tersebut dengan isi kepala yang berkecamuk apalagi saat Bapak tersebut menerima uang tersebut dan memberikan saya kembalinya. Saya berpikir, betapa berartinya uang dari tangan tersebut bagi si Bapak untuk hidup satu bulan tanpa kehujanan dan kepanasan, sementara saya gunakan jumlah yang sama bagi kemewahan si Jazzy selama satu minggu saja! Alamak, betapa saya kurang bersyukur selama ini. Saking speechless-nya saya mendengar komentar si Bapak tadi, saya masih tidah tahu apakah saya ini beruntung atau tidak tahu diuntung. Saya mengingat bagaimana kesalnya saya saat kepanasan dan kehujanan menunggu taksi di jalan, bagaimana sedihnya saya saat melihat orang dengan nyamannya mengendarai mobil pribadi di jalan dan merasa iri dengan mereka, dan terutama saya menyesal sekali telah kehilangan si hitam nobil pertama saya.

Sambil menyalakan mesin mobil saya mengucapkan terima kasih kepada si Bapak yang sudah mulai melayani customer lainnya. Saya memandangnya dari kaca spion di atas kepala saya saat si Jazzy saya ajak meluncur ke jalan keluar dari pom bensin dan berusaha menebak apa yang sedang dipikirkan si Bapak saat itu. Tertawanya ternyata mengandung ironi. Mungkin saja masih terbesit di pikiran dia betapa mahalnya harga kontrakan rumahnya sementara orang lain bisa dengan enaknya memakai jumlah yang sama untuk mengisi tangki mobil hanya untuk konsumsi beberapa hari saja. Dan kebetulan orang lain tersebut adalah saya yang sebelumnya kesal dan mengeluh susahnya tidak punya kendaraan pribadi di Jakarta. Itupun hanya dua bulan saja dari mulai kepulangan saya selepas sekolah.

Ucapan si Bapak mengena sekali di hati dan perlahan-lahan saya meluncur di jalan raya sambil berusaha untuk mencerna bagaimana seharusnya saya menghadapi hidup ini. Masih banyak orang yang lebih susah dari saya yang membuat saya tidak berhak untuk mengeluh hanya karena tidak punya kemewahan yang membawa saya di belantara Jakarta, membuat saya merasa telah bersalah karena melihat ke atas ketimbang ke bawah dan merasa bahwa selama ini saya memang kurang bersyukur!