Monday, August 23, 2004

SUSAHNYA JADI PENYIAR TVRI

Orang memang lebih kenal Ira Kusno yang baru saja menyandang predikat Penyiar Terbaik Pilihan Pemirsa dalam Panasonic Award meski sempat hilang 2 tahun di layar kaca karena meneruskan sekolah di Inggris atau Sandrina Malakiano yang berkibar di Metro TV, namun sebenarnya ada serombongan penyiar yang mungkin teralienasi dari pandangan publik, para penyiar TVRI.

Sosok mereka memang tidak se-glamour para penyiar televisi swasta, namun kerja keras mereka sebenarnya dua kali lipat lebih banyak. Mulai dari jadwal siaran yang tidak menentu, uang honor yang tersendat-sendat sampai penyediaan kostum dari kocek pribadi akibat birokrasi yang njelimet untuk menarik sponsor. Toh mereka tetap siaran dan mengikuti prosedur penyiaran dan tuntutan untuk tampil sebagai ujung tombak pemberitaan TVRI, stasiun televisi paling tua yang sudah mulai jarang dilirik oleh pemirsa. Dan tanpa disadari atau tidak, wajah mereka sebenarnya muncul lebih banyak di rumah-rumah di Indonesia mengingat jangkauan TVRI yang melebihi TV swasta. Bahkan banyak juga warga Indonesia yang berdomisili di Australia, Singapura dan Hong Kong yang menikmati wajah-wajah mereka.

Orang masih teringat akan ketenaran penyiar TVRI di masa lalu saat televisi ini masih memonopoli siaran. Publik pasti masih mengenal nama-nama beken seperti Tuti Aditama, Inke Maris, Idrus, Mariana Ramelan, Yan Partawijaya dan serentetan nama-nama lainnya. Salah seorang dari mereka masih tetap getol untuk siaran dan lucunya, pertama kali berduet siaran dengan beliau, saya geli kalau ingat mengagumi wajah beliau membacakan berita saat umur saya masih awal belasan tahun.

Sebenarnya tiga tahun belakangan sudah banyak wajah-wajah baru bermunculan di TVRI dan tampilan serta kecerdasan mereka sebenarnya tidak kalah dibanding penyiar televisi swasta. Kalau mau ditanya siapa yang disalahkan, nantinya akan merembet ke hal politis juga, akibat banyaknya gonjang-ganjing seputar manajemen TVRI.

“Kesederhanaan” memang sepertinya menjadi image penyiar TVRI. Apalagi sekarang di mana pola menonton kita dan cara kita memilih program televisi sudah sedemikian besarnya dipengaruhi televisi swasta. Apabila diperkenalkan sebagai seorang penyiar TVRI, orang pasti akan langsung bertanya, kenapa tidak pindah saja ke swasta? Dengan asumsi bahwa di TV swasta dengan proporsi siaran yang sama, jalan menuju ketenaran lebih banyak. Seolah-olah menjadi penyiar TVRI tidak terlalu menjanjikan. Agak menyedihkan memang apabila pertanyaan tersebut dilontarkan apalagi apabila diteruskan dengan peryataan: “Wah, nggak pernah liat, habis nggak pernah nonton TVRI.” Mengutip salah satu rekan yang pernah bilang ke saya:”Habis gambarnya kabur, wajahmu ndak jelas.” Salah satu hal yang juga biasa dihadapi penyiar TVRI adalah saat berkenalan dengan orang baru, mereka kenalan dulu baru menonton sang penyiar siaran ketimbang misalnya mengenal penyiar TV swasta di layar kaca dulu baru ngebet pengen kenalan apabila kebetulan duduk satu meja di café di mal.

Memang sebagian dari penyiar di televisi swasta yang sekarang berkibar paling tidak pernah merasakan menjadi penyiar TVRI. Si garang Rosi Silalahi dulunya bekerja di TVRI sekitar tiga tahun, Sandrina Malakiano dulunya penyiar English News Services di TVRI, program berita berbahasa Inggris yang menelorkan penyiar kondang macam Inez Sukandar, Tiya Diran dan Tengku Malinda. Anehnya setalah Rosi dan Sandrina mengundurkan diri dan bergabung dengan stasiun televisi swasta, tampilan mereka lebih cemerlang dan malah TVRI bangga bisa menelurkan penyiar sekaliber mereka, bukannya sedih karena penyiar mereka digaet TV lain dan justru kondang di kandang orang lain.

Ketenaran memang bukan menjadi pilihan untuk bekerja menjadi peyiar TVRI. Pada saat menandatangani kontrak, segera lupakan bahwa seorang penyiar TVRI akan langsung ngetop dengan jalan yang sama dengan penyiar televisi swasta.

Banggakah mereka? Ini pertanyaan yang sulit karena porsi kebanggaan dari masing-masing orang berbeda. Yang jelas mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan. Biar bagaimana tampil di layar kaca membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri. Kebanggan tersebut kadang-kadang luntur apabila sudah beberapa bulan uang honor tidak muncul-muncul. Hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari dan meski sebel sendiri, toh tetap saja mereka siaran dengan senang hati dan tidak lupa tersenyum diplomatis di layar kaca. Kebesaran hati sudah biasa di TVRI. Karena memang tidak ada yang harus dipersalahkan mengapa honor yang rendah masih juga terlambat. Sekali lagi ini nantinya merambat ke political management. Sudah cukuplah media expert saja yang membahas bagaimana memperbaiki TVRI.

Keterikatan batin seorang penyiar dengan TVRI boleh dibilang cukup kuat. Salah seorang mantan penyiar yang sekarang meneruskan program S3 di Jerman pernah dengan semangatnya ingin memberitakan situasi pemilihan suara di Jerman April lalu. Tidak tanggung-tanggung meski sebagai seorang penerima beasiswa dengan kocek euro yang terbatas, dia langsung menempuh perjalanan bolak-balik dari Aachen ke Frankfurt tempat pemungutan suara dilaksanakan, demi TVRI. Demi telepon jalur internasional yang menginginkan bantuannya untuk memantau pemilu di luar negeri. Meski kecewa karena tidak jadi siaran langsung lewat telepon untuk siaran Dunia Dalam Berita, toh ia tetap berbesar hati dengan menerima keadaan TVRI (tepatnya ketidakprofesionalan) yang gagal melakukan siaran via telepon dengan alasan slot waktu tidak ada. Kebesaran hati memang salah satu syarat utama menjadi penyiar TVRI. Bahkan para mantan penyiar TVRI.

Dibilang susah memang susah, tetapi sebenarnya ada yang bisa dibanggakan menjadi penyiar TVRI. Kalau Plaza Senayan di Jakarta menjadi patokan dikenal atau tidaknya wajah seorang penyiar TVRI, lupakan saja kebanggaan untuk menjadi penyiar TVRI. Publik di sana lebih terbiasa dengan Kania Sutisnawinata atau mantan penyiar RCTI Jason Tedjasukmana. Namun berjalanlah di desa-desa atau pedalaman di Papua misalnya, ada kemungkinan besar masyarakat akan menyapa nama lengkap mereka dengan pandangan penuh harap untuk berfoto bersama. Sesuatu yang patut dihargai karena biar bagaimana TVRI tetap exist di Indonesia.

Mungkin ada benarnya semboyan TVRI yang tetap menjalin persatuan dan kesatuan.