Thursday, August 19, 2004

RENUNGAN SUNGAI THAMES

Kamis, 19 Agustus 04

Entah kenapa pada perjalanan menuju rumah dari Production House di Ealing, saya tergoda untuk berhenti di Embankment Station dekat sungai Thames. Sudah lama juga tidak jalan-jalan di sekitar sungai yang membelah kota London itu. Lagipula, saat itu sudah waktu makan malam, jam 6:30 sore, perut saya sudah agak lapar. Jadi, saat District Line, kereta yang saya naiki untuk menuju Whitechapel, berhenti di Embankment, saya turun.

Sore ini indah. Matahari masih bersinar terang dan para Londoner bersliweran pulang kerja sambil mencari tempat untuk minum di café-café. Selain itu turis juga banyak berjalan di sekitar sungai Thames. Saya mampir sebentar di kedai sushi, Wasabi yang terletak antara Embanment Station dan Charring Cross Station untuk membeli sushi take-away karena sudah lama tidak makan makanan borjuis itu.

Setelah itu, sambil menaiki jembatan Golden Jubilee yang menghubungkan embankment dengan London Eye pier, saya memandang aliran sungai Thames. Saat pertama kali melihat sungai yang kesohor tersebut, tidak ada kesan saya akan mencintai kota London, namun hari ini tampilan sungai tersebut lain dari biasanya. Mungkin karena musim panas dan biasanya saya menelusuri sungai Thames saat musim dingin.

Saat tiba di seberang sungai, sayup-sayup terdengar alunan musik. Arahnya datang dari National Film Theatre yang juga bersebelahan dengan Royal Festival Hall, tempat para seniman manggung, termasuk grup gamelan Southbank. Ternyata setelah saya melewati National Film Theatre ada pertunjukan black music dimana orang-orang berkerumun sambil minum. Pemandangan yang mengesankan, meski saya tidak tergoda untuk mampir dan sekedar duduk-duduk mendengarkan musik. Saya memilih untuk terus berjalan ke arah Southbank dan mencari tempat duduk untuk menikmati sushi saya.

Di tepian sungai Thames banyak sekali orang berjalan-jalan menikmati hangatnya sinar matahari malam yang panjang dan berkilaunya aliran sungai. Sesekali speedboat meluncur membelah aliran sungai yang tenang. Sesaat pikiran saya melayang membayangkan saat pertama memijakkan kaki di kota Jack the Ripper ini. London begitu kelabu, dan tetap kelabu sampai saat musim panas tiba. Jika dibandingkan dengan Paris, London kalah warna-warni. Dulu saya selalu membandingkan dengan kota favorit saya itu tapi hari ini saya benar-benar memilih untuk memberikan romantisme saya kepada kota dingin ini.

Di kejauhan bisa terlihat puncak dari kapsul-kapsul London Eye. Si jam megah Big Ben di House of Parliament terlihat samar. Orang-orang naik sepeda melewati tempat saya duduk dengan baju berwarna-warni. Maklum, meski musim panas, cuaca London bisa berubah seketika. Bahkan kadang ada guntur besar seperti kalau musim hujan deras di Indonesia. Jadi, agak menyenangkan melihat orang memakai baju satu piece, tidak berlapis-lapis untuk menghalau dingin.

Sambil menikmati sushi, saya membayangkan apakah saya akan kehilangan suasana London apabila kembali ke macetnya Jakarta. Satu tahun hampir berlalu dan tiba-tiba sudah waktunya studi saya rampung dan kembali ke kampung halaman, Jakarta. Satu hal yang saya sukai dari kehidupan di kota belahan bumi barat adalah berjalan kaki dengan nyaman tanpa gangguan keringat, asongan atau sapaan “ramah” orang-orang di jalan..mbak, mau ke mana….suit suit….

Musik masih terdengar sayup-sayup di telinga saya dan tanpa terasa, saya sudah menikmati indahnya kilauan air sungai Thames selama lebih dari satu jam. Sendiri. Agaknya kota ini sudah menaklukan saya. Dulu saya sangat terpesona dengan Paris yang sudah empat kali saya kunjungi dan tidak pernah bosan. Hari ini saya terpesona dengan London, dengan kelabunya, dengan buramnya gedung-gedung, dengan hujannya yang tak menentu…seandainya nanti saya bisa kembali, mungkin London akan jadi pilihan saya untuk bekerja dan menetap. Tinggal menunggu nasib saja yang membawa saya kemana. Sekolah akan selesai dalam waktu kurang dari tiga minggu. Dan setelah itu tibalah perpisahan dengan negeri Britania Raya untuk kembali ke Indonesia Raya, negeri saya tercinta.

Lamunan saya terpecah saat serombongan anak muda lewat tepat di muka saya dengan aksen Inggris utara yang kental. Perlahan saya bangkit dan berjalan perlahan menuju stasiun Waterloo East di belakang Royal Festival Hall untuk naik kereta menuju New Cross. London memang indah dan dinamis. Sedinamis langkah saya menuju rumah, untuk menulis renungan ini.