Wednesday, August 18, 2004

DANGDUT TUJUH BELASAN

London, Selasa, 17 August 2004


Entah kenapa rasa nasionalisme akan bangkit dengan sendirinya apabila saya berada jauh di negeri orang. Meski mangkir dari Upacara Bendera di kediaman Duta Besar di Wisma Nusantara pagi ini gara-gara terlambat bangun pagi seperti biasanya akibat chatting terlalu lama lewat internet, saya dengan semangat berangkat ke acara tujuh belasan. Padahal, tujuh belasan di kampung tempat saya tinggal di Jakarta hanya terkesan biasa-biasa saja, karena sudah rutin. Kali ini memang lain, lebih keren, tujuh belasan di London.

Dengan mengenakan kebaya yang sudah setahun tergantung di lemari pakaian karena belum ada occasion yang sesuai selama tinggal di negara Ratu Elizabeth, saya menempuh perjalanan dengan kereta bawah tanah selama hampir satu jam dan diteruskan dengan berjalan kaki dari stasiun kereta ke wisma selama hampir 20 menit. Maklum, tempat tinggal Duta Besar memang jauh dari stasiun ataupun kendaraan publik lainnya karena berada di daerah elit (posh, kata orang sini) London, Bishop Grove, yang berada di area Bishop Avenue, utara London. Konon, Mick Jagger punya rumah di daerah yang sama dengan Duta Besar.

Apalagi yang ditunggu kalau bukan makanan asli Indonesia buatan ibu-ibu dharma wanita KBRI. Dalam sekejap, ratusan orang Indonesia menyantap habis hidangan prasmanan. Selama tinggal setahun di London, saya belum pernah melihat demikian banyaknya orang Indonesia berkumpul. Sekitar 700-an orang membanjiri halaman belakang Wisma Nusantara. Hari Lebaran dan Natal pun kalah ramai.

Menurut keterangan salah satu orang Indonesia yang sudah bermukim di London selama empat tahun, tahun lalu acara tujuh belasan tidak seramai tahun ini. Agaknya ada yang menjadi pemicu mengapa banyak sekali orang Indonesia nongol di acara tujuh belasan. Dialah sang diva dangdut, Ikke Nurjanah yang khusus di-import untuk menghibur komunitas Indonesia di London.

Selain Ikke, si pelantun tembang keroncong, Toeti Trie Sedya juga kebagian menghibur. Mbak Toeti yang sudah melanglang buana di dunia tarik suara ini memang serba bisa. Tidak hanya keroncong saja, tapi hampir semua lagu dari setiap daerah dari Sabang sampai Merauke, sampai guyonan regional-pun dia fasih sekali.

Masa pun berkumpul di dekat teras belakang wisma yang disulap jadi panggung dadakan. Berjoget, bernyanyi dan saling menghibur satu sama lain. Wajah-wajah Indonesia yang tidak saya kenal dan yang pernah berkenalan menjadi satu di depan panggung.

Saat sang Diva dangdut, Ikke Nurjanah tampil, masa menjadi gila. Semua orang, mulai dari tenaga kerja domestik kita, ibu-ibu, bapak-bapak, sampai wartawan yang sedang menempuh program master di London (siapa ya….) jadi kepingin berfoto, sampai Ikke kesulitan untuk mencari space buat bernyanyi. Walhasil MC yang nota bene juga aktris sinetron, model, presenter TV dan juga dokter dan mahasiswa spesialis dari King’s College, Lula Kamal kebagian jadi kamtib. Membubarkan masa agar sedikit menepi dari Ikke. Pada akhirnya, susah juga memberikan space bernyanyi kepada Ikke, karena masa tetap mengeroyok Ikke untuk berfoto bersamanya, termasuk saya. Maklum, kapan lagi bertemu sang idola model iklan margarin dapur itu.

Meski London adalah negara Barat, dan akses untuk go internasional lebih banyak, toh pada akhirnya dangdutlah yang menjadi pilihan utama warga Indonesia. Saat Terlena dilantunkan, semua orang berjoget dangdut, tidak peduli dia pejabat, mahasiswa terbaik Indonesia penerima beasiswa (konotasi: ironi), anak kecil, pengusaha, orang Inggris sendiri ikut bergoyang. Di antara para pejoget, saya dan beberapa teman mahasiswa juga tidak ketinggalan berpartisipasi. Halaman belakang wisma nusantara yang luas berubah jadi ajang adu goyang. Semua orang gembira. Gembira merayakan tujuhbelasan, dan sesaat melupakan krisis nasional ataupun pemilu. Padahal spanduk besar sukseskan Pemilu terpampang megahnya di atas panggung.

Sekolah boleh jauh-jauh ke London. Setiap hari saat menulis disertasi, boleh mendengarkan Virgin FM, yang kondang dengan lagu-lagu Top 40 dunia tapi selera tetap tak berubah. Dangdut mania. Bahkan beberapa rekan mahasiswa (salah satunya sedang mengambil program master business administration, em be a) hapal luar kepala lagu-lagu dangdut. Nggak nyangka….

Entah karena sang diva datang, atau kebolehan mbak Toeti sebagai seorang entertainer, yang jelas, dangdut bisa dijadikan wahana pemersatu Indonesia. Terbukti dengan dipanggilnya sang juara karaoke tingkat KBRI London, yang menyanyikan lagu dangdut Jatuh Bangun, semua tetap berjoget, sampai lupa bahwa tujuhbelasan adalah hari Selasa, bukan weekend, yang nota bene, hari kerja di London. Beberapa warga yang bekerja di London pun bela-belain ijin makan siang panjang demi menghadiri acara di wisma nusantara.

Yang jelas, KBRI dan panitia tujuhbelasan boleh dibilang sukses menyelenggarakan acara kemerdekaan RI tahun 2004. Meski menampilkan spanduk semboyan tujuh belas Agustus yang berbau klise “Dengan Semangat Tujuh Belas Agustus….” yang terpampang ala kadarnya di atas panggung (mungkin karena mahalnya dana membuat spanduk yang megah di London), secara umum, hidangan dan hiburan, semuanya membuat orang…terlenaaaaaa….aaaaaaahhhh….kuterlenaaaaaaaa…….