Monday, August 23, 2004

PATUTKAH TVRI DI-IURKAN?

Minggu, 22 Agustus 04

Pertanyaan di atas masih mengundang konflik antara yang setuju dan tidak setuju. Meski Undang-undang Penyiaran Indonesia sudah mempersilakan TVRI untuk menarik Iuran Televisi dan mengambil jatah iklan sebanyak 15% dari jam tayang siaran, tetap saja Undang-undang tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan referensi mengapa Direktur Utama TVRI sekarang, Yazirwan Uyun nekat mengajukan proposal ke DPR Juni lalu untuk membebankan iuran televisi kepada masyarakat. Tidak tanggung-tanggung konsep yang diajukan adalah dengan menggabungkan tagihan listrik dengan iuran televisi, sehingga kalau masyarakat enggan membayar iuran televisi otomatis aliran listrik dicabut. Agaknya Yazirwan Uyun meniru gaya iuran televisi di Pakistan.

Undang-undang tersebut masih tergolong lemah karena tidak mengatur secara jelas mengapa TVRI harus di-iurkan. Alasannya hanya satu, karena pemerintah sudah menetapkan bahwa TVRI dan RRI adalah badan penyiaran publik.

Tapi apa sebenarnya badan penyiaran publik itu sendiri masih misteri di Indonesia. Apabila ditelaah mendalam, argumentasi dari Yazirwan Uyun adalah bahwa TVRI harus mempersiapkan diri menuju konsep TV Publik tahun 2005 mendatang, dan sebagai akibatnya, masyarakatlah yang harus dibebankan pembiayaan TV yang jangkauan siarannya mencakup seluruh Indonesia dan bahkan sampai ke manca negara.

Sikap Yazirwan Uyun juga dapat dimengerti mengingat pusingnya mengatur TVRI. Ditambah lagi memikirkan hutang TVRI yang mencapai 200 milliar kepada negara (www.asiamedia.ucla.edu/article.asp?parentid=11817). Untuk meminta hutang tersebut dihapuskan juga setengah mati karena pemerintah sepertinya melepas tanggung jawab setelah lebih dari 40 tahun mengeksploitasi stasiun tersebut. Sementara pemasukan dari iklan juga tersendat-sendat akibat siaran TVRI yang tidak mengalami peningkatan (ada sih, tapi tidak memenuhi harapan advertising company, menurut sumber dari dalam), serta management TVRI yang acak adul untuk mengatur bagaimana konsep yang baik bagi dunia periklanan untuk beriklan di TVRI. Tawaran yang paling menggiurkan cuma masalah jangkauan siaran yang mencakup seluruh negara kepulauan sehingga periklanan bisa memanfaatkan ratusan juta rumah di seluruh Indonesia untuk memasarkan produknya.

Jadi satu-satunya jalan memang cuma membebankan masalah keuangan TVRI kepada masyarakat, dengan dalih bahwa TVRI akan menjadi milik publik. Akan tetapi ini juga tidak adil karena yang dipikirkan hanya sekedar bagaimana TVRI bertahan hidup tanpa benar-benar memberikan argumentasi yang jelas dan intelektual mengapa masyarakat harus diberi kesadaran untuk membayar iuran televisi. Ditambah lagi saat ini konsep kita dalam menonton acara televisi sudah sedemikian dahsyatnya dipengaruhi televisi swasta. Mengapa harus bayar iuran televisi kalau stasiunnya sendiri sudah tidak pernah ditonton karena tampilan gambar yang buram atau acaranya yang gitu-gitu aja, sama seperti dulu zaman TVRI masih memonopoli siaran.

Konsep TV Publik inilah yang seharusnya menjadi kunci utama. Apa sebenarnya TV Publik juga tidak pernah dijelaskan oleh DPR. Bahkan ada keraguan apakah DPR sendiri mengerti konsep TV Publik ini sendiri. Kalau melihat kembali sejarah berdirinya TVRI, stasiun ini tidak lepas dari belenggu pemerintah. Saat President Sukarno dulu berinisiatif membentuk badan penyiaran TVRI tahun 1962 yang jadi alasan adalah untuk menyiarkan secara internasional event olahraga Asian Games. Secara tidak langsung sebenarnya TVRI sudah terbentuk oleh subyektivitas Sukarno, bukan karena tuntutan dari masyarakat. Sejalan dengan perkembangan negara Indonesia, apalagi masa Suharto yang nota bene melarang penyiaran iklan dengan dalih melindungi masyarakat dari gaya hidup konsumerisme tahun 1981, TVRI klop menjadi televisi propaganda pemerintah karena subsidi tahunan negara dimulai setelah iklan dilarang.

Apabila membandingkan dengan negara yang masih memberlakukan iuran televisi seperti Inggris, publik di sana sudah terbentuk dengan konsep dari TV Publik itu sendiri. General Manager BBC pertama, John Reith menampilkan argumentasi bahwa penyiaran merupakan sumber aset utama bangsa yang sangat berharga (Crisell 1997:13-14). Dalam argumentasi lainnya, Reith menjelaskan bahwa making money was not to be the object of broadcasting.”Since the Broadcasting Company regards itself as a public service…it behaves the trade to adapt their manufacturing and selling policy to the requirements of the public as reflected in BBC Policy”.(Briggs 1985:55)

Toh seyakin apapun John Reith menekankan pentingnya masyarakat dalam penyiaran ketimbang konsep televisi komersial yang digambarkan Ien Ang dalam bukunya Desperately Seeking the Audience sebagai “delivering audiences to the advertisers”, pada akhirnya argumentasi soal baik tidaknya iuran televisi tetap dipertahankan masih menjadi debat di parlemen Inggris. Padahal, transparansi soal bagaimana duit iuran dibelanjakan sudah dibuat go public di situs BBC www.bbc.co.uk/info/licencefee. Dari 5,500 responden dari survey yang dibuat oleh pemerintah, lebih dari setengah pembayar iuran televisi di Inggris malah mengaku tidak tahu menahu bagaimana BBC di-managed. Beberapa argumen dari masyarakat yang menolak membayar iuran televisi adalah makin buruknya siaran BBC. Sebagian lagi datang dari para pensiunan yang enggan menonton BBC karena acaranya lebih banyak ditujukan bagi generasi yang lebih muda (www.business.timesonline.co.uk/article/0,,9071-1186034,00.html).

Kalau dilihat secara keseluruhan, BBC masih merupakan salah satu badan penyiaran terbaik di dunia internasional. Secara nasional pun acara-acara yang ditayangkan masih bisa dikategorikan sangat bagus. Pada akhirnya iuran televisi jadi semacam perdebatan juga, bagaimana dengan TVRI yang kadang siarannya masih diterima dengan kabur (banyak semutnya kata keponakan saya), dan bahwa kebanyakan program pemberitaannya masih berkisar antara seminar dan elit pemerintah sebagai guest star?

Selain itu juga jatah uang iklan dari televisi swasta juga mandek. Iuran televisi zaman dahulu pun menimbulkan berbagai pertanyaan soal transparansi. Kemana larinya uang iuran itu? Apakah nantinya akan lebih ada transparansi dalam pengelolaannya? Yazirwan Uyun menjelaskan kepada Kompas 9 Juni 2004 bahwa pihaknya sudah melakukan review dari proposal yang diajukan oleh beberapa perusahaan swasta yang nantinya akan mengelola pembayaran iuran televisi. Tapi ia menolak untuk membocorkan nama perusahaan tersebut. Apakah ini sudah merupakan indikasi ketidakadaan transparansi nantinya?

Apakah ada perjanjian dari pihak TVRI sendiri kepada masyarakat bahwa siarannya nanti benar-benar jauh lebih meningkat dari sekarang saat masyarakat mulai membayar iuran? Agaknya ini jadi pe-er buat Yazirwan Uyun untuk benar-benar membuktikan apakah memang produksi TVRI nantinya bakal jadi favorit masyarakat, mengingat kompetisi yang ketat dengan 10 stasiun swasta. Memang tidak gampang mengulas masalah iuran televisi, karena dalam konteks Indonesia akan merembet ke masalah politik yang sejak zaman baheula sudah menjadi duri dalam daging di kubu TVRI. Jadi sekarang tergantung dari seluruh jajaran direksi dan karyawan untuk berkomitmen memajukan TVRI sebagai TV Publik.