Friday, October 08, 2004

TAKSI BEMO

Jangan sangka bisa naik taksi di Yunani senyaman naik taksi di Jakarta ataupun kota lainnya di Indonesia. Meski sudah termasuk negara dengan standard ekonomi yang membaik setelah masuk dalam kelompok negara-negara Uni Eropa, pendapatan para blue collar, termasuk rendah untuk standard biaya hidup yang mematok dengan mata uang Euro. Para supir taksi punya cara yang unik untuk mendapatkan tambahan uang.
Saat saya dan Andy Biru yang terkantuk-kantuk naik taksi dari daerah pinggiran Atena ke pusat kota, kami dikejutkan dengan naiknya seorang penumpang yang melambaikan tangannya memberhentikan taksi kami, bak memberhentikan bemo ataupun bis kota di pinggir jalan. Sambil terbengong-bengong dan tidak tahu harus berkata apa-apa saking terkejutnya, saya memandangi punggung wanita penumpang yang duduk di sebelah supir, sementara tangan saya mencolek lengan Andy Biru yang sudah tertidur dengan nyenyaknya di sebelah saya.
Dengan reaksi yang sama seperti saya, apalagi baru saja terjaga dari alam mimpi, si kecil Andy juga melongo mengetahui bahwa tak hanya kami yang berada di taksi yang kami tumpangi. Kami saling berpandangan dengan seribu tanda tanya, tapi tampaknya baik si supir ataupun si penumpang tambahan terlihat santai dan tak bersalah. Padahal menurut logika kami si penumpang tersebut sudah seenaknya nebeng dan si supir juga sudah melanggar undang-undang memberikan layanan pribadi kepada penumpang taksi.
Sambil marah-marah dengan bahasa Inggris yang disahuti dengan bahasa Yunani oleh sang supir, kami turun di tempat tujuan dengan kesal karena privacy kami naik taksi sudah terganggu. Toh tak ada pengertian sama sekali antara customer, dalam hal ini, kami berdua, dengan sang supir. Bagaimana tidak,wong bicaranya saja antara bahasa Inggris dan bahasa negeri dewa tersebut, ya mana nyambung. Sementara sang hitchiker di depan juga melongo dan akhirnya tertawa bersama sang supir karena kelihatannya kami-lah yang tidak mengetahui tata cara berpenumpang. Lebih kesal lagi adalah, harga yang tercantum di argo harus kami bayar penuh, tidak berbagi dengan si penebeng, padahal saya melihat si penebeng sudah bersiap-siap dengan recehan sekitar 4 Euro di tangan untuk membayar di pemberhentian dia sendiri yang entah di mana, setelah pemberhentian kami. Dengan perasaan dongkol saya menutup pintu taksi.
Saat bertemu dengan Elena untuk makan malam bersama di daerah Plaka, kami menceritakan pengalaman naik taksi tadi dengan harapan bahwa, Elena yang kelahiran Atena akan merasa kasihan dengan kami. Ternyata si director film tersebut tertawa sambil bertanya, apakah di Indonesia hal tersebut tidak biasa? Tentu saja dengan tegas kami jawab,"Tidak!" Ternyata memang di Yunani taksi tidak bersifat pribadi, tapi milik rame-rame seperti bis kota. Hal ini dimaksudkan untuk menambah kocek supir taksi yang pendapatannya kecil. Saking kecilnya, untuk standard hidup di Atena bisa dibilang di bawah rata-rata. Jadi, penumpang pertama wajib membayar sesuai dengan harga argo yang tercantum, dengan kata lain pendapatan sah, sementara pendapatan dari penumpang kedua, ataupun mungkin ketiga dan keempat, tergantung dari kapasitas tempat duduk yang tersedia, masuk ke kocek sendiri untuk tambahan.
Duh, jadi begitulah hukum jalanan yang berlaku di belantara kota Atena. Kami bertiga toh akhirnya tertawa-tawa mengingat pengalaman lucu tersebut. Tapi memang ada bagusnya juga hukum tersebut berlaku di Atena. Suatu hari, saat kami susah mendapatkan taksi kosong saat mau kembali ke pinggiran kota untuk pulang ke rumah Elena, saat frustasi karena hari sudah menjelang malam, Andy Biru mengingatkan saya bahwa mengapa tidak mencoba memberhentikan taksi yang berpenumpang? Walhasil, kami melambaikan tangan ke setiap taksi dan bertanya apakah tujuan si penumpang pertama searah dengan kami. Walhasil, meski mendapatkan taksi kosong karena taksi yang berpenumpang tak ada satupun yang bertujuan sama dengan kami, kami paling tidak sudah mencoba pengalaman kami menyetop taksi bemo. Memang naik taksi Yunani asiknya rame-rameeeeee.......