Sunday, December 26, 2004

THE DEAGLES AND THE DILLONS


Monday, 26 Dec 2004


Saya tidak ingat kapan pertama kali mengenal kedua keluarga ini. Yang jelas dari keempat personel keluarga Deagle dan dua personel keluarga Dillon, Paul Dillon adalah yang pertama saya kenal melalui suatu penganugerahan buku jurnalistik terbaik di Hotel Mandarin Jakarta sekitar tiga tahun yang lalu. Acara yang digabungkan dengan acara kumpul-kumpul para jurnalis asing se-Jakarta tersebut sebenarnya agak membosankan buat saya karena penuh dengan the foreign snobs yang kadang saya anggap suka berlebihan dalam mengekspresikan beberapa berita berat, macam bicara soal Kopassus, Timorleste atau Aceh.

Pada akhirnya Jihan Dillon-lah yang saya kenal melalui seorang kawan lama dalam suatu acara kekerabatan yang membawa saya masuk ke dalam kedua keluarga funky ini. Wanita ceriwis berambut cepak ini dulu saya pikir seorang foreigner, ternyata wanita berdarah Ambon-Jawa ini malah lebih fasih berbahasa Jawa dari saya dan tinggal di Pasar Minggu sana. Sejalan dengan waktu dan kesempatan membantu Tim Deagle dalam beberapa tugas televisi, mereka menjadi sahabat-sahabat saya juga, termasuk Aji Deagle sang istri dan Imaji, junior pertama keluarga Deagle serta the big guy, Paul. Dan pada kesempatan Natal ini, saya menjadi salah satu undangan yang hadir pada jamuan di rumah The Deagles.

Entah mengapa, mungkin karena saya rindu akan lampu-lampu Natal yang meriah di jalan-jalan dan di toko-toko London, atau salju tebal di Scotland yang saya alami pada bulan yang sama tahun lalu, Natal kali ini saya sambut dengan antusias, seperti halnya akhir bulan puasa menjelang Idul Fitri. Apalagi salah satu bayi keluarga Deagle, Rafael, baru saja berusia dua minggu menambah semangat saya untuk belanja kado-kado Natal, dan memasak roasted chicken bagi para undangan yang akan hadir.

Pasangan keluarga campuran ini memang memiliki banyak teman dan suka sekali keramaian di rumah mereka. Jihan dan Paul bahkan menikah di rumah keluarga Deagle saat saya masih berada di London. Saya rasa mereka adalah pasangan campuran Timur-Barat yang paling membumi dari berbagai hal termasuk cara mereka menjamu tamu-tamunya. Mereka bukanlah pasangan high maintenance yang harus membayar mahal makanan ataupun belanja mereka.

Tamu-tamu kali ini pun datang dari berbagai negara, dan ini membuat saya agak kecapaian juga berbicara dalam bahasa Inggris. Meski mereka tak keberatan kami, saya, Aji dan Jihan berbicara dalam bahasa sini, karena sebagian dari tamu-tamu lainnya mengerti, toh pada akhirnya semua percakapan otomatis dalam bahasa Inggris, termasuk saat berkomunikasi dengan si centil Imaji.

Natal tahun ini adalah pengalaman baru buat saya. Acara tukaran kado adalah yang paling meriah ibarat keluarga besar saya bagi-bagi angpau saat lebaran. Bukan jumlah atau nilai, tapi lebih kepada niat kita untuk berbagi. Natal kali ini memang tidak dihiasi salju putih atau orang-orang dengan pakaian Santa di jalan yang ramah menyapa selamat Natal kepada orang-orang yang lewat. Yang ada hanya hujan besar dan guntur yang mengguyur hari Natal. Tradisi di Indonesia memang berbeda, namun kali ini yang saya hayati lebih kepada rasa hormat saya kepada sahabat-sahabat saya yang mau berbagi keceriaan Natal bersama saya. Yang jelas, selain pulang dengan berbagai hadiah di tangan, saya masih tetap tersenyum mengingat perayaan Natal pertama saya. Santa Claus mungkin juga seorang Pancasilais sejati seperti saya atau juga seorang figur internasionalis yang tidak memandang siapapun dari budaya manapun…ho.ho..ho…..