Monday, January 31, 2005

I DON"T WANNA BE LIGHTER

Jakarta, 27 Januari 2005

Saya mungkin tidak sudah terlalu peduli lagi dengan warna kulit saya yang sebenarnya khas orang Indonesia, sawo matang. Orang sini bahkan Ibu saya sendiri menyebut warna kulit saya sebagai hitam dan waktu kecil suka diledek akibat gelapnya warna kulit saya dan bahwa hanya hidung saya yang bangir saja yang membuat wajah saya kelihatan baik. Dulu saya suka menangis apabila diledek seperti itu, tapi sekarang justru saya merasa kasihan apabila ada orang yang cenderung memberikan semacam prejudisme soal warna kulit dalam konteks menentukan indah atau tidaknya seseorang.

Di Indonesia memang kebanyakan orang melihat bahwa orang itu cantik karena kulitnya yang langsat dan terang. Saya menyebut istilah terang karena kebanyakan orang sudah rancu mengatakan bahwa kategori kulit terang adalah putih dan kulit gelap adalah hitam. Padahal, warna kulit putih adalah milik ras kaukasian sementara hitam adalah milik ras afro di benua Afrika sana. Jadi, sudah rancu sebenarnya kalau menyebut si anu putih, atau si ini hitam untuk orang Indonesia.

Saya hanya menganggap penilaian cantik tidaknya perempuan atau ganteng tidaknya laki-laki adalah masalah selera. Ada teman saya yang memang lebih suka going out dengan laki-laki berkulit terang, atau rekan laki-laki yang lebih memilih perempuan berkulit gelap untuk dijadikan pacar. Mereka punya alasan sendiri-sendiri yang sah-sah saja, namanya juga selera. Seorang teman yang suka nongkrong di mall cenderung senang memandangi laki-laki berkulit gelap yang seliweran di mall, karena lebih macho katanya. Sementara teman yang lain berdalih bahwa si macho pilihan teman saya itu sebagai manusia paling jorok di dunia.

Atau teman satu flat saya di London dulu suka berkeluh kesah repotnya harus berjemur di bawah sinar matahari musim panas namun kulitnya tidak juga menjadi tanned. Dia mengatakan betapa beruntungnya saya karena mempunyai warna kulit yang prefect. Saya tersenyum sendiri dalam hati pada waktu itu sambil membayangkan bahwa waktu kecil saya dijuluki si hitam manis, kalau sudah tua nanti, manisnya hilang, tinggal hitamnya saja. Joke ala Indonesia yang masih kita dengar sampai sekarang.

Kalau dilihat lagi, iklan juga sebenarnya sudah secara tidak langsung membuat perempuan berkulit gelap menjadi kurang percaya diri akan penampilannya. Di Indonesia, penjualan produk pemutih seperti whitening lotion menampilkan iklannya di layar kaca yang jelas-jelas mengasumsikan bahwa dengan memakai produk tersebut kulit perempuan akan menjadi lebih putih. Tidak tanggung-tanggung, iklan tersebut membandingkan model yang putih karena memakai produk pemutih tersebut dengan model lain yang kulitnya lebih gelap dengan cara menempelkan lengan mereka berdua untuk mendapatkan shot yang kontras antara yang terang dan gelap. Setelah itu digambarkan bagaimana mudahnya si terang mendapatkan pria dambaannya ketimbang si gelap. Padahal kenyataannya hal ini justru salah sama sekali mengingat tidak semua perempuan berkulit terang lebih laku atau juga sebaliknya. Kembali lagi, ini hanya masalah selera.

Sayangnya iklan ini bisa saja membuat perempuan yang berkulit gelap semakin menjadi kurang percaya diri dan malah mempertajam jurang antara si terang dan si gelap. Dan dari pihak laki-laki sendiri, iklan semacam ini malah cenderung memperbodoh kaum laki-laki untuk men-drive pikiran mereka bahwa si terang adalah yang tercantik. Alangkah sayangnya, padahal kepribadian yang sering digaung-gaungkan oleh para pakar kecantikan atau juri dalam pemilihan ratu kecantikan adalah hal yang paling menunjang yang membuat orang terlihat lebih mempesona.

Mungkin memang demikian adanya. Manusia memang kurang puas dengan apa yang dimiliknya dan merasa bahwa yang dimiliki orang lain lebih indah, padahal belum tentu sesuai dengan dirinya. Bak pepatah rumput tetangga selalu kelihatan lebih hijau daripada yang ada di pekarangan sendiri.

Saya rasa agak berlebihan apabila jaman sekarang orang masih saja menganggap penampilan luar adalah hal yang terpenting dalam hidup. Namun saya juga tidak memungkiri bahwa hal itu memang harus tetap diperhitungkan. Kalau dilihat dari soal warna kulit dan penampilan, lihat saja penampilan gaya masa kini di mall-mall di Jakarta. Akan sangat susah membedakan satu orang dengan yang lain karena penampilan mereka cenderung sama akibat mengikuti trend.

Saya sendiri bukan orang yang senang dan terpengaruh dengan trend. Buat saya trend cenderung membosankan, karena segala sesuatunya menjadi sama dan sejalan, tidak ada yang berani menyerempet untuk berbeda sendiri karena takut salah atau tidak pantas. So, menjadi berbeda karena percaya bahwa perbedaan tersebut cocok untuk diri sendiri adalah suatu modal utama dari pesona seseorang. Yang membuat hidup ini menjadi bervariasi. Dengan kata lain, apabila semua perempuan Indonesia ingin menjadi lebih terang, dan beberapa sudah puas dengan dirinya tanpa peduli apakan kulitnya terang atau gelap, maka kaum minoritas tersebut akan membuat mall-mall ataupun tempat-tempat lainnya menjadi lebih semarak. The United Colors…meminjam istilah slogan sebuah merk terkenal. So, I don’t wanna be white! Atau lebih tepatnya I don’t wanna be lighter!