Monday, April 04, 2005

KAKI LIMA TERGUSUR

Senin, 4 April 05
Saya penggemar berat kaki lima. Dalam seminggu paling tidak sekali saya makan di kaki lima di seputar Menteng atau di Blok M. Atau mampir di warung sate dekat rumah sepulang kerja atau tukang bubur ayam sembari berangkat kerja. Pokoknya dari kecil hidup saya dekat dengan para kaki lima. Tukang gado-gado yang mangkal di depan rumah saya misalnya, adalah salah satu saksi how I grow up, saking dia tidak pernah pindah-pindah tempat mangkal dari saya lahir. Dari tukang siomay yang panggilan akrabnya Jack juga sudah akrab, sampai tukang sate ayam yang setia berteriak di depan rumah karena seringnya dipanggil Ibu, dan sekarang sudah parlente bawa mobil Kijang kotak ke tempat mangkalnya setelah pensiun keliling kompleks. Semasa SMA dulu, ada tukang es campur dan ketupat sayur yang menyapa saya di depan gerbang sekolah, dan ternyata dia adalah tukang es campur yang kalau sore hari nongkrong di depan rumah yang dulunya tempat kantor urusan agama. Belum lagi tukang sate kambing, tukang bubur ayam, tukang baso, tukang es dong dong dan tukang-tukang lainnya.

Saking dekatnya kaki lima dalam kehidupan keluarga saya, sampai-sampai setiap lebaran, mereka pasti sudah tahu bahwa Ibu saya akan memberikan angpau. Mulai dari si tukang gado-gado, tukang siomay, tukang sate, tukang-tukang semuanya yang suka mampir jualan di depan rumah, kebagian jatah angpau. Kadang Ibu saya sampai tahu bahwa si tukang anu cerai dari istri tuanya dan kawin lagi sama cewek yang lebih muda…walah..walah…kehidupan pribadi merekapun kita tahu.

Makanya saya sedih mendengar dan melihat razia kamtib yang semena-mena terhadap para kaki lima ini. Meskipun saya mengerti bahwa mereka memang agak mengganggu jalannya keindahan kota, tapi perlakuan terhadap mereka ibarat penjahat juga tidak layak. Padahal dari para tukang-tukang kaki lima ini, semuanya murni hanya ingin mencari makan dan membiayai sekolah anak-anak. Jawaban klasik tapi jujur.

Kalau mau jujur, orang Jakarta sebenarnya tergantung pada kaki lima. Gedung-gedung tinggi di Sudirman dan Thamrin misalnya menyimpan jutaan warga Jakarta yang suka makan jajanan pinggir jalan. Kalau tidak ada mereka, bisa-bisa bokek karena mesti makan siang di restoran yang harganya bisa dua sampai sepuluh kali lipat. Kalau kaki lima tidak ada, orang-orang macam saya ini bisa-bisa pusing cari makanan enak.

Tapi memang kaki lima meninggalkan sampah yang menimbulkan rusaknya keindahan kota, Sebenarnya ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan seperti mengantisipasi adanya ancama bom di kedutaan asing, shopping mall atau di gedung-gedung yang sahamnya milik institusi asing. Ini adalah sesuatu yang bisa diperbaiki. Hanya memang sayangnya, orang kita suka tidak disiplin. Jadi malah kasusnya bertambah ruwet saja.

Cuma kalau sampai ada tukang bubur ayam yang mati gantung diri karena pusing tujuh keliling memikirkan hidupnya yang pas-pasan, agaknya ini sudah semacam klimaks agar pedagang kaki lima diperhatikan kesejahteraannya. Mereka sebenarnya termasuk salah satu roda penggerak ekonomi utama, namun keberadaanya tidak terlalu dianggap. Jaminan sosial yang memanyungi-pun tidak ada. Padahal mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara, sama seperti orang kantoran yang punya jaminan sosial.

Entahlah, mungkin Jakarta juga sudah kebanyakan orang, sampai akhirnya pemerintah kotapun juga kewalahan mengurus hal-hal yang menyangkut keindahan. Ditambah lagi dengan sikap kekurangdisiplinan yang sebenarnya bukan hanya milik para pedagang kaki lima tapi hampir semua karakter orang kita.

Saya hanya kepingin melihat, berapa lama Jakarta bersih dari kaki lima. Seminggu, dua minggu? Yang jelas jutaan warga Jakarta tetap menjadi market setia kaki lima, meskipun mereka tergusur. Saya sendiri ogah tiap hari keluar duit ratusan ribu hanya buat makan di resto.