Wednesday, June 01, 2005

LES TEMPS QUI CHANGENT

Wednesday, 1 June 2005

Musim berganti. Terjemahan dari judul di atas. Film romansa perancis yang diperankan dedengkot aktris Prancis, Chaterine Deneuve dan Gerard Depardieu mengisahkan bagaimana cinta tak padam meski waktu telah berlalu puluhan tahun, seiring dengan bergantinya waktu. Bahkan pada saat si perempuan, Cécile (Chaterine Deneuve) sudah beranjak tua dan berbadan subur, Antoine (Gerard Depardieu) tetap memburunya bahkan sampai bela-belain mengejar ke negara lain. Cécile yang pernikahannya sudah mulai monoton dan membosankan menganggap Antoine gila karena masih mencintainya setelah romansa panas mereka berakhir tiga puluh tahun lalu. Namun pada akhirnya, mereka tetap bersatu dengan disampaikan dalam bahasa symbol saat Antoine yang setengah sadar di rumah sakit akibat koma, menyentuh tangan Cécile.

Cinta memang selalu digambarkan dengan segala keindahannya. Bahwasannya meski logika manusia berjalan untuk menutupi kedahsyatan sang amour, namun toh pada akhirnya kemenangan selalu berpihak pada kedahsyatan tersebut.

Cinta juga menjadi topik yang tak habis-habisnya diulas dan direntangkan baik dalam film, lagu maupun novel. Teman saya, Eka Kurniawan, misalnya menggambarkan cinta yang membara yang tak habis-habisnya seiring berjalannya umur manusia, seperti halnya musim yang berganti. Herannya, meski sehari-hari sangat pendiam, Eka dapat menggambarkan kedahsyatan sang amour tersebut dalam cerpennya, "Cinta Tak Ada Mati". Judulnya saja sudah membuat merinding. Meski tidak se-happy ending "Le Temps Qui Changent", "Cinta Tak Ada Mati" mengambil topik yang sama di mana sang lelaki tak sudah-sudahnya mencintai perempuan sejatinya. Setelah sang cinta sejati meninggal, sang lelaki yang telah uzur di makan usia dan setia tidak mencintai perempuan lain, mencari sisa-sisa perempuan sejatinya tersebut di bibir si suami.

Kebetulan saja, saya selesai membaca kumpulan cerpen Eka dan setelah itu menonton "Les Temps Qui Changent" yang diputar di Festival Film Prancis. Saya tidak tahu harus terbawa imajinasi cerpen Eka ataukan imajinasi cinta ala français tersebut. Yang saya suka dari keduanya adalah di mana kedua tokoh, baik pada film Prancis tersebut dan dalam cerpen Eka, adalah laki-laki (heteroseksual) yang konon selalu memakai logika dalam menentukan cintanya. Bullshit, meski dalam film atau cerpen sekalipun, pastinya imajinasi akan adanya laki-laki yang bisa sedemikian mencintai kekasihnya –lah yang dapat membangkitkan kreativitas sineas, André Téchiné dan cerpenis, Eka Kurniawan (kebetulan dua-duanya lelaki) dalam mengembangkan karakter sang tokoh lelaki yang cinta mati dengan kekasihnya. Bisa jadi itu adalah pengalaman pribadi mereka sendiri, sayangnya saya tidak bisa menkonfirmasikannya dengan André, tapi mungkin lewat blog ini saya bisa bertanaya pada Eka, selama usia beranjak tua, selama musim berganti, pernahkan cintamu tak ada mati, sobat?