Thursday, April 21, 2005

SECARIK KERTAS DARI JAUH

Kamis, 21 April 05

Saya baru saja menerima secarik kertas yang diantar oleh Pak Pos- yang beberapa tahun terakhir jarang ngider dari rumah ke rumah akibat teknologi internet dan sms dalam pengiriman kabar menjadi favorit- , berwarna gading, bertulisan hitam pekat dan berlogo.
Secarik kertas yang datang dari jauh itu memang mengesankan. Ditandatangani dan dilegalisir oleh warden dari universitas (yang menurut data internet) kondang. Secarik kertas yang saya dapat berkat usaha lolos dalam proses seleksi untuk menjalani ritme pendidikan asing, berkat kerja (keras?) selama setahun dan beberapa proses culture shock.

Sambil mesem-mesem sendiri saat membaca isi secarik kertas tersebut saya menyadari, bahwa ternyata inilah tujuan akhir dari segala macam stress, perdebatan, perkenalan, perpisahan, sakit, susah, tertawa, kedinginan, kepanasan, dan apapun yang terjadi selama lebih dari setahun. Hanya untuk sang kertas semata yang dengan congkaknya memandang saya saat saya memandangnya. Lebih mengesalkan lagi, bahwa sang kertas itu menjadi lebih congkak karena merasa sudah diukir nun jauh di sana dan sudah menyeberangi luasnya samudera dan benua di barat sana untuk menghampiri saya. Padahal sang kertas yang congkak itu hanyalah suatu simbol, yang dia pikir dapat meningkatkan pandangan orang terhadap saya. Simbol yang saya tahu persis tidak terlalu berguna bagi sang kertas untuk menjadi congkak. Karena proses untuk mendapatkan simbol tersebut mengandung beragam ketidaksetujuan, kekecewaan dan segudang protes dari saya terhadap sang “mahaguru” yang mengaku-ngaku memberikan pengetahuan “dunia pertama” kepada “dunia ketiga”. Karena sebelumnya saya menganggap mendapatkan lebih dari sang “mahaguru” itu, dan pahit sekali saat mengetahui bahwa sang “mahaguru” telah mengecewakan saya. Padahal untuk membayar sang "mahaguru" itu, "atasan"-nya sudah repot-repot memberikan saya pendanaan. Toh kertas tersebut tetap saja dengan sombong dan megahnya tergeletak di atas meja kerja saya, berbaur dengan kertas-kertas buatan “dunia ketiga” lainnya yang akhirnya kalah congkak dengan sang secarik kertas dari jauh itu. Demi segores pengakuan dan seuntai penghargaan.

Secarik kertas macam ini seringkali membuat sang penerima tergila-gila, dan membuatnya merasa patut pergi ke tempat tukang cetak kartu nama untuk menambah deretan nama di kartu nama dengan tambahan di nama belakangnya. Atau bagi yang mau menikah, merupakan semacam ikon bagi orang tua kedua mempelai saat mencetak undangan dan menyebarkannya ke para tamu. Kebanggaan saja, soalnya kayaknya gimanaaaaa, gitu looohhh

Atau kalau saya mewawancara nara sumber yang agung karena embel-embel yang diberikan oleh secarik kertas tersebut, produser selalu wanti-wanti supaya saya tidak lupa menyebutkan dengan jelas seraya tidak lupa menyisipkan kartu nama. Rupanya produser takut diomeli kalau saya lupa menyebut sang embel-embel ini. Kadang saya geuleuh, pasalnya, nama nara sumber yang kadang sudah panjang menjadi panjaaaaaaaaannnnnnngggggg……..Belum lagi apabila si nara sumber sangat bangga dengan panjangnya namanya tersebut, maka saat berjabat tangan berkenalan dengan saya, semua nama di kartu nama disebut. Atau ada juga yang kepinginnya merendah, supaya ceritanya sih, menaikkan mutu, dengan mengatakan, “Ah ndak perlu disebut…," Tapi saat mengucapkan kalimat tersebut, hidungnya kembang-kempis, dan senyumnya menyeringai kayak kuda nil, dengan sorot mata grogi, dan merogoh-rogoh saku kantong sambil membusungkan dada agar terlihat berwibawa, padahal sebaliknya. Demi pengakuan. Demi prestise. Demi kenaikan gaji, mungkin…

Secarik kertas dari jauh yang dengan congkaknya bisa membuat orang tergila-gila. Membuat orang berlomba mendapatkannya, sehingga melupakan akal sehat. Di tanah air, kasusnya lain lagi. Kecongkakan kertas buatan dalam negeri bahkan bisa membuat orang rela mengorbankan rupiah sampai berlembar-lembar. Hanya untuk mendapatkan sang kertas. Tanpa harus melalui proses sesungguhnya. Meski demikian, sang kertas buatan negeri sendiri tetap merasa berhak untuk sombong. Karena iapun bisa dibeli dengan mahal. Tak ada bedanya dengan komoditi. Hanya demi pengakuan. Demi prestise. Demi kenaikan gaji dan jabatan…

Toh secarik kertas dari jauh itu saya simpan baik-baik sebagai bukti sejarah. Paling tidak bagi orang-orang yang tertarik dengan prestise dan pengakuan. Atau bagi secarik kertas lainnya di masa depan, di jenjang yang lebih tinggi yang untuk mendapatkannya terlebih dahulu meminta secarik kertas pendahulu yang berada satu tingkat di bawahnya. Hanya untuk dilirik lalu bolehlah jalan terbuka…

Itulah kekuatan dari secarik kertas yang (kebetulan) datang dari jauh…