Monday, June 27, 2005

“MANIS”-NYA ROKOK KOBOI

Monday, 27 Juni 05

Setelah dibeli oleh perusahaan rokok koboi kondang, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia sekarang memiliki jajaran direksi asing yang kata sebagian orang tinggal ongkang-ongkang menikmati manisnya laba. Itu sih urusan sirik-sirikan saja. Begitulah bisnis dan dunia kapitalis. Wajar saja kok. Ibarat, keluar uang lebih banyak, dapat barang berkualitas bagus, dan barang bagus, berarti penggunaannya cenderung lebih convenient. Itulah mengapa barang bagus selalu diincar.

Hanya saja, ternyata perusahaan pembeli tersebut mampu membayar puluhan triliun rupiah, tetapi terkesan lambat dalam urusan pembayaran invoice vendor. Ditambah lagi urusan administrasi yang bolak-balik harus di follow up, kalau tidak ya nggak diproses. Maunya tersedia di meja, tapi angkat telepon untuk memberitahukan ada yang dicari gak ada di meja, ya malas, tunggu ditanya. Kalaupun ingat menelepon, itupun karena bantuan orang dalam yang akhirnya stress sendiri juga karena jadi ibarat bola pingpong. Diomeli vendor dan dicuekin di dalam. Lha wong katanya internasional, tapi kayak kantor kelurahan saja, malah kelurahan sekarang lebih beres administrasinya.

Yah, memang, berapa persen sih bayaran vendor pengusaha kecil kalau dibanding dengan triliunan rupiah. Nothing. Tapi justru karena nothing itulah, jadi terkesan dianggap enteng, padahal bagi pengusaha kecil yang menjadi vendor-vendor tersebut, segelintir persentase itu adalah pemasukan yang cukup besar.

Bayangkan, hanya untuk pengurusan vendor list, diperlukan waktu lebih dari sebulan. Sebabnya gampang, vendor baru diharuskan mengikuti prosedur. Sampai sini, wajar. Dokumen lengkap harus di-copy dan dikirim. Wajar. Hanya saja, pemberitahuan prosedur ini selalu kelupaan setiap minggu. Satu per satu dokumen diminta setiap minggunya. Padahal bagi perusahaan sekaliber itu pasti berpengalaman punya vendor baru lebih dari satu. Jadi tinggal memberitahukan apa saja kelengkapan yang harus dimasukkan dengan lengkap (kayak urus visa, gitu lho…!), dalam satu hari bereslah urusan. Invoice terbayar dalam seminggu.

Ini sih tidak. Minggu ini minta surat ini, di sana bilang beres katanya, minggu depan lagi ada lagi dokumen anu yang harus di-copy, beres ini yang terakhir, eh minggu selanjutnya, aktenya belum. Entah karena template-nya berbeda, atau memang karena kealpaan dari administrasi. Walhasil, invoice menggantung selama lebih dari sebulan.

Tapi itulah risiko pekerjaan. Kadang mata tidak boleh terperdaya oleh indahnya imej. Ibarat terlena akibat barang polesan, padahal onderdilnya belum tentu semuanya tokcer. Akibat terlalu silau dengan imej dari merek, membuat vendor tersebut bersikap take it for granted, masa sih dibikin repot sama admin-nya perusahaan asing? Kan asing biasanya lebih profesional, bukan?

Yang jelas, produsen rokok koboi itu boleh saja sih angkuh dengan pengusaha SME, paling juga nanti kena batunya sendiri. Semua digampangin, nggak perlu pusing, pasti kebayar. Yakin sih, tapi treatment-nya itu lho yang nggak nahan. Padahal di dunia Barat sana, konon (ini juga diragukan sih…) tidak mengenal diskriminasi, semua diperlakukan sama. Mungkin juga sama perlakuan mereka di sini, sama-sama memperlakukan vendor seperti pengemis yang setiap minggu harus meminta-minta apa yang jadi haknya. Mau protes, sudah, mau ditulis jelas-jelas, nanti takutnya dibilang menjelek-jelekkan, karena ketidaksukaan pada hal-hal berbau asing yang menyerobot produk lokal. Wah, jadi njelimet urusannya. Jadi lebih baik tahan saja sama gaya koboi mereka yang seolah-olah berkata: yang penting, pasti dibayar, tenang aja deh…come to where the kretek is….