Friday, November 05, 2004

SINETRON



Ada yang menarik di giat sinema elektronik Indonesia. Rata-rata temanya seputar penderitaan yang mendalam, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, meminjam istilah rekan mantan peneliti Komnas Perempuan yang mengomentari film soal asylum seeker si Elena Karathanasi, kolega saya di London. Agaknya kalau setiap production house memproduksi sinetron yang bersifat sudah jatuh tertimpa tangga pula, pasti sudah ada survey sebelumnya bahwa publik kita memang suka dengan tema yang mengambil dari kisah Cinderella, Bawang Merah Bawang Putih atau si opera sabun Jepang jaman dulu, Oshin. Berarti ada satu indikasi bahwa publik Indonesia memang suka melihat penderitaan orang lain.

Penderitaan yang tersirat dalam sinetron-sinetron Indonesia itu sendiri digambarkan dalam sebuah media betapa kejamnya perempuan-perempuan antagonis di setiap adegan. Tak hanya itu, tangisan, rintihan dan teriakan seperti sudah menjadi syarat atau template, untuk membuat naskah sinetron tanpa memusingkan apakah memang benar adegan seperti itu atau ucapan seperti itu dapat terjadi di dunia nyata. Mungkin ini bisa dijadikan bahan argumentasi apabila kita melihat kejadian yang kita anggap sangat dramatis dalam kenyataan sehari-hari, maka kita bisa berucap,”Kayak di sinetron aja…!!”

Di salah satu sinetron terdapat adegan siswi SMU yang dengki kepada rekan siswi yang lain berusaha dengan sengaja mendorong rekannya tersebut sehingga terjatuh dari lantai kedua gedung sekolah. Walhasil, dalam adegan lambat, siswi tersebut terlempar dari lantai kedua dan untungnya berhasil menyambar genting lantai pertama. Setelah sekitar 3 sampai 5 menit bergelantungan, siswi SMU tersebut akhirnya terjatuh namun berkat seorang siswa SMU (sang karakter heroik dalam sinetron tersebut) yang berhasil menangkapnya di lantai dasar, si siswi SMU tersebut selamat.

Lucunya, adegan dramatis tersebut bisa luput dari pengawas sekolah ataupun guru-guru, karena saat bergelantungan, si siswi tersebut berteriak-teriak selama 3 menit dan banyak siswa dan siswi menyaksikan kejadian tersebut. Efek dramatis yang sudah baik namun detilnya meleset. Masa sih tidak ada satu gurupun yang melihat. Padahal tindakan tersebut sudah bersifat kriminil dan masuk dalam kategori pembunuhan terencana. Lebih berat daripada kasus penganiayaan ringan siswa STPDN yang berbuntut dikeluarkannya dua orang praja pelaku penganiayaan.

Sinetron memang menggambarkan duka yang berkepanjangan, keculasan, kedengkian versus tangisan, jeritan bak langit serasa runtuh bagi pihak yang teraniaya. Saat menonton televisi antara jam 12 siang sampai menjelag azan maghrib, akan terdengar teriakan atau tangisan di setiap saluran televisi. Silakan saja coba menggonta-ganti saluran setiap satu menit, yang terlihat dan terdengar adalah rintihan, raungan, makian dan teriakan dari berbagai jenis.

Herannya memang semakin laku saja sinetron-sinetron macam ini untuk dijadikan tontonan. Meski akhirnya yang bergaung adalah sinetron macam Bajaj Bajuri atau sebelumnya adalah si Doel Anak Sekolahan, yang tergolong menyuguhkan cerita apa adanya dari satu keluarga sederhana di pinggiran kota dan cenderung lebih logis terjadi di dunia nyata, tapi kalau melihat berjamurnya sinetron jenis makian dan tangisan di layar televisi kita, jelas segmen pasar memang lebih menginginkan dunia dramatis masuk ke rumah. Paling tidak saat ini untuk mengingatkan, untuk ngabuburit bulan puasa, agar bersyukur bahwa ternyata mungkin saja ada orang lain yang penderitaannya jauh lebih besar dari yang menonton sinetron. Mungkin bersyukur punya ibu mertua yang tidak cerewet, bersyukur punya mantu yang tidak mata duitan, atau bersyukur tidak punya suami tukang nyeleweng…