Friday, April 27, 2007

MENJAHIT HUJAN

Solo, 27 April 2007

Maha mendung merapatkan dirinya ke bumi
Makhluk-makhluk menghindar dari sang mega
Gelap yang terbawa semakin gulita
Langkah tertatih mencari lindungan
Kala rintik mulai menoreh di atas permukaan sunyi
Derap kaki mulai berpencar
Bumi pun mulai tercabik banyu
Berlimpah hingga menelan segala
Yang tersisa hanya lindasan
Muntah melaknatkan isi
Air yang bersatu meruntuhkan angkuhan
Menistakan semua seduan
Sampai dera arus tak henti
Manusia tak kuasa bermohon
Aruskan segenap nikmat
Dengan mencoba menjahit hujan

Agar reda

Thursday, April 26, 2007

ENCORE DEUX PERSONNES PARTENT

Solo, 26 Avril 2007

Aujourd’hui, Joel et Jana Bros m’ont téléphoné pour me dire qu’ils vont partir pour la Russe. Joel a une promotion pour déveloper un nuveau magasin du Carrefour à Moskow. Il y a quelque mois, j’ai rencontré Jana et c’était un faite la dernière réunion à Jakarta.

Encore deux personnes partent l’Indonésie. Il y a deux mois, un ami journalist qui a decidé de joindre la guerre au Tchad. Bein, il ne joint pas tellement la guerre, mais le fait qu’il est parti pour le pay avec la guerre me faissait triste aussi.

Les amis étrangères viennent de l’étrangère, et ils retournent a l’étrangère. Pour mois, c’est étrange de savoir qu’il ya toujours un moment où je dois leur dire au revoir. Et il y a toujours d’autres personnes qui viennent, qui me dissent bonjour ou enchanté, qui me dissent qu’ils sont contents de rencontrer une indonésiènne qui parle français.

La vie marche rapidement. J’attend maintenant le moment où d’autres amis étrangères me dissent au revoir ou a bientôt. Mais ma vie roule avec leurs amitiés. Je peux imaginer comme la vie est si dure pour eux d’être loin de leur culture, de leurs familles et de leurs meilleurs amis. Ils doivent trouver nouveaux amis comme moi, par example.

Je me dis toujours, peut-être un jour c’est moi qui dois dire bonjour en étrangère aux nouveaux amis. Et, je penses que je dois le faire dans quelques ans pour essayer d’autre vie, d’autres amities et d’autres cultures. Je dois essayer comment ça allait d’avoir la vie loin du mon pay. Quand j’étais en angleterre, c’etait seulement un an de m’occuper a la vie occidentale. Mais je dévines que ce sera different si la duration de séjour est plus longue qu’à Londres.

Mais, même si je suis triste, je ne sais pas si je dois être triste pour eux ou pour moi même, parce que je dois rester ici pour en moment. Je dois oublier de déménager aux d’autres pays. Il y aura un moment, j’espère. Un moment que je peux écouter la voix d’un ou une amie qui me dissait, “Dewi, encore une personne part….”

Wednesday, April 25, 2007

HELIKOTER

Solo, 25 April 2007

Dua atau tiga minggu yang lalu saya sempat membaca ulasan Dr. Sapardi Djoko Damono di majalah Tempo di kolom Bahasa!. Detilnya saya kurang tahu, tetapi intinya adalah mengenai bunyi suara yang diujarkan sesuai dengan adaptasi suara tersebut dari si pengujar. Salah satu contoh yang belia berikan adalah kata "seken", yang berasal dari kata bahasa Inggris "second" (hand). Beliau kemudian lebih membahas mengenai pemaknaan "second" dalam konteks "second-hand car "dengan memperbandingkannya dengan kata "used-car". Akibat adaptasi dari pengujaran, maka kata "second" ditulis sesuai dengan bunyi ujarannya menjadi "seken".

Saya lebih tertarik dengan bagaimana proses "second" bisa ditulis menjadi "seken". Saya ingat saat kuliah linguistik yang membosankan di kelas saat saya duduk di semester ketiga atau keempat, Prof, Benny Hoed pernah mengungkapkan bahwa gejala perubahan "second" menjadi "seken" disebut sebagai translationese atau penerjemahan suatu kata dengan mengadaptasikannya dengan pengujaran lokal (Pak Benny, maaf kalau saya salah, kira-kira seperti itulah).

Dulu pernah kata Mall diubah menjadi Mal. Tetapi karena orang Indonesia tidak bisa membiasakan dengan Mal akhirnya berubah kembali menjadi Mall. Kemudian Plaza menjadi Plasa. Itulah akhirnya mobil bekas yang dalam bahasa Inggris disebut dengan "second-hand car" disebut sebagai mobil "seken". Saya tidak tahu apakah kata mobil bekas menjadi kurang afdol ketimbang menyebutnya sebagai "mobil seken". Yang jelas gejala tersebut pastinya diciptakan oleh orang-orang yang tidak mengetahui tulisan bahasa Inggris untuk "second", yang notabene pendidikannya bisa jadi bagus, tetapi tidak paham dengan bahasa tersebut. Secara umum, biasanya golongan masyarakat yang tidak bisa berbahasa Inggris, seringkali disebut sebagai "less educated" (padahal nggak selalu sih….).

Saya sendiri merasa agak terganggu dengan penulisan semacam itu. Yang menyebalkan bagi saya adalah, kurangnya keingintahuan dari orang untuk mencari tahu apakah yang ia ujar atau tulis sudah sesuai dengan bahasa sebenarnya. Menurut saya, translationese kelihatan sepele, tetapi kalau semua ditulis dengan benar, hal ini bisa memberikan edukasi kepada orang-orang yang tidak tahu. Okelah, kalau memang lidah kita sulit untuk melantunkan "second" secara baku dan benar berdasarkan fonetik bahasa Inggris, paling tidak saat penulisan, kita dapat menyontek dari kamus. Pengujaran boleh "seken", tetapi tulisan tetap "second".

Tetapi suatu saat saya pernah merasa lelah dengan pemberian edukasi. Mungkin ada saatnya kita membiarkan saja orang berpikir dan menganggap semua tidak masalah. Menurut saya orang kita sangat toleran, sehingga semua menjadi “Ya, nggak papa…”.

Sewaktu Merapi belum erupsi, saya datang ke desa Bebeng tempat Kawasan Kaliadem di bawah kaki Merapi yang sekarang sudah tertutup lahar. Waktu itu saya singgah di warung kopi dan bicara dengan Ibu pemilik warung. Sang Ibu pernah lari ke bawah saat malam hari terdengar suara erupsi Merapi.

“Kencang sekali, Mbak, kayak Helikoter,” katanya.

Saya waktu itu bingung dengan apa yang dimaksud oleh si Ibu. Mungkin karena kebetulan juga saya kurang menyimak. Setelah saya dengarkan sekali lagi, kebetulan si Ibu menyebut kembali ‘helicoter’ itu.

“Oh, maksud Ibu, Helicopter ya,” kata saya.

“Iya, Mbak. Helikoter. Suaranya nguung nguung gitu…”

Saya pasrah saja akhirnya sambil menahan senyum saya mencatat apa yang dikatakan si Ibu yaitu beliau mendengar suara erupsi Merapi seperti baling-baling Helicopter di tengah malam. Tetapi setelah itu saya berhenti mencatat, dan berpikir, bunyi nguuung nguung yang dia sebut itu harus ditulis bagaimana. Apakah benar nguuung atau kalau si Ibu harus menuliskannya, kata apa yang akan dihasilkannya. Akhirnya saya hanya melaporkan bahwa salah satu penduduk desa mengibaratkan suara erupsi Merapi seperti bunyi mesin Helikopter.

Saya yakin, pembaca di Jawa Barat atau di Sulawesi akan membayangkan bunyi mesin Helikoter….eh Helikopter dengan lafal dan penulisan yang berbeda. Helicopter atau Helikopter dalam bahasa kita?

Tuesday, April 24, 2007

PIJATHERAPY

Solo, 24 April 2007

Suatu malam saya mendapatkan telepon dari sahabat lama di London yang kini berprofesi sebagai wartawan di BBC TV. Tentu saja saat itu saya tidak menduga sama sekali bahwa sahabat saya itu masih setia menyimpan nomor telepon saya setelah hampir tiga tahun berpisah. Dari nostalgia masa kuliah dengan teman-teman dari antero dunia yang kumpul di kelas kami, hanya satu hal yang dipertanyakan olehnya.

“Luv, you sound very happy in Indonesia. Is it because you live in a luxurious live with your luxurious spa and massage?”

Saya tertawa dan jadi teringat akan pembicaraan terakhir di bar mahasiswa dengan sahabat saya itu. Saya bilang betapa saya tidak ingin kembali ke Indonesia, dan hanya spa dan pijat yang membuat saya kangen akan negeri sendiri. Saat itu semua teman semeja mengira betapa mewahnya hidup saya di Indonesia.

Tentu saja saya dijuluki sebagai "Asian chick with her highest maintenance" hanya karena saya bercerita betapa meresahkannya hidup setahun tanpa pijat dan perawatan tubuh, sementara di Indonesia saya bisa sebulan sekali atau bahkan seminggu sekali pergi ke salon hanya untuk krimbat dan pijat.

Coba mereka tahu perbandingan harga pijat di sini dengan di London. Saya pernah ke pusat perbelanjaan murah di daerah Oxford Circus. Di satu sudut dekat pakaian wanita, ada stand pijat untuk leher. Pelanggan duduk membungkuk dan dipijat selama 30 menit. Harganya 30 pondsterling atau hampir mencapai Rp. 300,000. Saat itu saya merasa sangat bersyukur karena tak lama lagi dengan jumlah rupiah yang sama, saya dapat masuk ke dalam bath tub setelah dipijat oleh mbak-mbak yang bertangan lembut selama satu setengah jam.

Ada lagi teman saya yang ikut suami bertugas ke Nigeria. Satu-satunya yang ia keluhkan adalah, tidak bisa pijat dan kalaupun ada, harganya selangit dan belum tentu enak.

Siapa yang tidak pernah pijat? Paling tidak dari kebanyakan teman-teman dan kolega saya semua pernah merasakan pijat dan menjadi bagian terpenting dari sistim tubuh. Kalau sudah dua minggu kerja keras dan kelelahan, yang dipikirkan hanyalah pijat. Bisa pijat dengan si mbok di rumah sampai ke spa-spa mewah dengan harga dan layanan bersaing yang tersebar di Ibukota.

Saat tugas ke Solo, seorang rekan penyiar pria dari stasiun televisi swasta kebetulan tinggal di hotel yang sama yang kebetulan memiliki fasilitas spa. Menurut beliau, saat check in, sudah merupakan hal yang wajib untuk mencoba spa hotel. Tidak tanggung-tanggung, layanan yang ia coba adalah pijat lengkap dengan scrub, aromatherapy dan lulur.

Mengapa hidup kita tidak lepas dari pijat? Menurut saya, penyakit masuk angin yang sampai sekarang tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa Inggris itu, merupakan penyebabnya. Hampir setiap orang Indonesia pernah menderita masuk angin. Hanya dengan pijat angin bisa dikeluarkan dengan sendawa ataupun buang air di toilet. Pijat jadi melancarkan peredaran darah dan fungsi organ tubuh. Secara teoritis, tidak bisa saya jelaskan karena itu bagian teman-teman yang jadi dokter. Tapi suatu pengalaman pribadi selain masuk angin bisa jadi masukan.

Suatu hari saya menderita salah urat di pinggang. Mau bergerak susah, mau duduk pun terasa nyeri. Saat itu teman kameramen yang kebetulan orang Inggris juga dan beristrikan orang Indonesia, menyarankan agar saya melakukan fisioterapi di klinik di daerah Kuningan. Setelah dua kali saya menjalankan terapi dengan bayaran mahal, saya menyerah karena sakitnya tidak berkurang.

Akhirnya, saya mengikuti anjuran teman yang hobby menyelam. Menurutnya, setiap kali setelah ia menyelam, ia selalu memanggil tukang pijat “resmi”nya. Saya masih ingat, si tukang pijat dipanggil dengan nama mama Lea. Asalnya dari Maluku.

Dengan teriakan selama satu jam karena sakit yang luar biasa, tangan-tangan mama Lea mengalahkan kecanggihan teknologi fisioterapi. Harga yang saya bayarpun sepertiga dari terapi. Keesokan harinya, saya bisa duduk dan berjalan seperti biasanya.

Saat saya bertemu dengan teman saya si penganjur fisioterapi, ia bertanya bagaimana keadaan saya karena kami akan segera bertolak ke daerah untuk shooting dokumenter. Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan merasa sangat segar setelah bertemu dengan mama Lea. Jawaban dia hanya singkat.

“Very typical. You sound like my wife.”

Well, I guess we all can’t live without massage, luv! We are the bloody luckiest people!

Sunday, April 01, 2007

CINTA (TAK) ADA MATI

Kembali saya mengulas soal judul di atas. Semata-mata karena saya sangat mengagumi pilihan kata dari teman saya, Eka Kurniawan yang suka menyulap kata-kata Indonesia sehari-hari menjadi bahasa yang maha dahsyat. Judul bukunya adalah Cinta Tak Ada Mati, berkisah tentang seorang lelaki yang sedemikian mencintai seorang perempuan, namun tak sampai akibat pernikahan sang perempuan dengan lelaki lain. Bahkan sampai akhir hayat si perempuan, si lelaki rela mencium bibir suami perempuan tersebut hanya untuk mencari sisa-sisa bibir perempuan yang ia cintai di bibir si suami.

Mski saya sempat memprotes logika yang dipakai oleh Eka saat bertemu di sebuah kedai buku di bilangan Pondok Indah kira-kira setahun yang lalu, dalam hati saya sangat mengagumi pilihan bahasanya yang sekali lagi, maha dahsyat. Menurut saya, tidak ada seorang pun yang dapat merasakan Cinta Tak Ada Mati. Menurut saya seharusnya dipakai symbol kurung untuk kata “Tak”, menjadi Cinta (Tak) Ada Mati. Jadi hanya sebentar saja orang bisa merasakan cinta yang tiada mati, namun seringkali cinta tersebut mati juga bahkan saat cinta itu masih berada di samping kita. Eka hanya tertawa mendengar komentar saya.

Sudah lama saya tidak bertemu Eka. Apalagi setelah beredarnya film Koper-nya Richard Oh, di mana saya dan dia berkolaborasi selama hampir 3 bulan untuk membenahi kalimat-kalimat Richard Oh, sang Filmmaker Wannabe. Eka bak hilang ditelan bumi atau lebih tepatnya saya yang hilang ditelan bumi karena kesibukan pekerjaan dan perjalanan selama setahun terakhir. Namun, kedahsyatan judulnya masih tetap terngiang di telinga saya. Bukan karena pada akhirnya saya pernah merasakan Cinta Tak Ada Mati, tetapi lebih karena keinginan saya untuk tetap mengartikan dan memainkan judul tersebut.

Cinta Tak Ada Mati, bisa dibuat menjadi Cinta Tak Ada, (maka) Mati. Atau Cinta, (kalau) Tak Ada (maka) Mati yang berarti tidak ada cinta berarti mati. Kalau saya bicara dengan beberapa teman yang pesimis karena selalu gagal dalam percintaan, maka mereka akan balik bertanya, Cinta itu Apa Sih? Jadi saya merasa tidak perlu mendiskusikan hal itu dengan para apatists. Karena untuk mengolah dan memberi makna pada kalimat di atas akan tidak ada juntrungannya.

Lain lagi dengan pasangan yang sudah bertahun-tahun bersama dan cenderung terlihat biasa-biasa saja. Mereka selalu mengkonfirmasikan dan berusaha meyakinkan saya bahwa keadaan “biasa-biasa” tersebut adalah cinta. Seorang teman yang sudah menikah sepuluh tahun mengatakan bahwa dia dan suaminya sudah saling cinta sehingga tidak harus mengekpresikannya seperti pertama kali berpacaran. Cinta tidak harus diekspresikan lewat sentuhan atau panggilan-panggilan manis kepada satu sama lain Setahun setelah dia bercerita seperti itu, mereka bercerai karena dua-duanya selingkuh. Alasannya sama dengan arti cinta bagi mereka, “biasa-biasa” saja karena sudah cinta, tapi selingkuh karena hubungan mereka sudah “biasa-biasa” saja juga sehingga mencari yang luar biasa di luar rumah. Maunya apa, sih?

Ada lagi beberapa teman yang selalu merasa jatuh cinta padahal baru bertemu satu menit. Seorang teman perempuan yang berprofesi sebagai pengacara mengatakan bahwa pengacara adalah orang yang pintar membalik-balikkan kata, tetapi saat jatuh cinta, dia bisa membuktikannya hanya dalam satu detik. Beberapa minggu setelah itu, ia patah hati. Ternyata bukan cinta, katanya.

Buat saya sendiri justru cerita tentang Cinta itu sendiri yang tak ada mati. Entah mengapa orang masih tetap suka membaca, menonton ataupun mendengar cerita cinta. Semua gosip baik di kantor ataupun di rumah, arisan, perkumpulan apapun pasti akan lebih seru kalau ada isyu drama percintaan. Paling tidak, mereka pikir kisahnya adalah percintaan, seringkali hanya karena dunia perisengan.

Jadi, sebenarnya, cerita cinta itu sendiri yang tiada mati.