Sunday, December 26, 2004

NATAL KELABU DI TAHUN TSUNAMI

26 Dec 04

Hampir semua orang yang bangun pagi hari ini dikejutkan dengan berita-berita di televisi soal gempa bumi di Aceh yang berkekuatan 6,8 skala Richter. Gempa yang berpusat di Samudra Hindia ternyata memicu gelombang pasang Tsunami untuk melalap kawasan pantai di India Selatan, Srilangka dan Thailand. Saya mendengar pagi hari tadi bahwa puluhan orang tewas, dan semakin saya mengikuti perkembangan bencana ini, semakin banyak korban jiwa berjatuhan.

Siang tadi, seorang rekan wartawan menelepon saya. Ia mengatakan bahwa seorang rekan kami yang sedang berlibur di Phukett, Thailand mengabarkan bahwa efek gempa dan badai sudah terasa di sana. Beberapa menit setelah telepon genggam saya matikan, berita di televisi melaporkan bahwa kawasan turis terkenal di Thailand tersebut tak luput dari gelombang pasang. Bahkan sang gelombang pasang ini juga menyapu India, Srilanka dan Bangladesh.

Hampir semua berita di semua televisi lokal mengabarkan hal yang sama. Empat negara di Asia terhantam gelombang pasang Tsunami, termasuk India, Srilanka, Indonesia dan Thailand. Malaysia terkena juga efeknya meski tidak besar. Indonesia adalah yang terparah dengan korban diperkirakan mencapai 4185 orang[1] di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dengan lima ribuan orang mengungsi untuk mencegah terjadinya gempa susulan.

Suasana Natal yang meriah berubah menjadi duka di pagi hari ini. Pandangan saya tak lepas dari pesawat televisi yang berkali-kali menyiarkan berita terkini soal gempa. Bencana ini agaknya menjadi headline di seluruh dunia, mengalahkan berita soal perang Irak. Terlihat dari beberapa pesan lewat sms di telepon genggam saya dari teman-teman saya di negara lain yang menanyakan apakah saya baik-baik saja. Saya rasa saya memang baik-baik saja tapi sungguh saya prihatin dengan apa yang terjadi. Force majeur yang tidak diharapkan yang meminta terlalu banyak korban jiwa. Terlalu banyak…

Pemandangan yang terlihat di pesawat televisi sungguh bukanlah pemandangan yang sedap. Tubuh anak-anak yang tak bernyawa lagi, kerusakan fisik, dan tangisan keluarga dan sanak saudara yang ditinggalkan. Banjir di mana-mana yang merendam tubuh-tubuh manusia bak perut yang lapar akan darah, Bencana yang tak diduga, yang terjadi setelah Natal, yang telah dinyatakan oleh Presiden SBY sebagai bencana nasional.

Kurang dari seminggu lagi tahun 2005 akan datang. Sayangnya tahun 2004 yang hampir sampai di ujungnya harus ditutup dengan lembar hitam yang disebabkan oleh sang Tsunami. Tragis memang. Padahal sehari sebelumnya orang ceria merayakan Natal ataupun menikmati liburan akhir tahun sambil merencanakan apa yang akan dilakukan pada penghujung tahun nanti. Agaknya bencana ini layak untuk dijadikan keprihatinan nasional, meski mungkin tak semua orang terhenyak dan berhenti memikirkan pesta apa yang harus dilakukan untuk menyambut lembar 2005. Tahun ini dunia, khususnya Asia mengalami Natal kelabu yang hadir di tahun Tsunami. Semoga jumlah korban tidak bertambah lagi dan semoga ini bisa dijadikan renungan duka cita bagi semua umat di dunia. Amin

[1] Disiarkan Metro TV, sebagaimana dikutip dari kantor berita AFP

DANIEL ZIV

Monday, 26 Dec 04


Si penulis buku best seller Jakarta Inside Out yang bekas dedengkot majalah Jakarta! City Life Magazine ternyata punya kehidupan yang juga menarik untuk dilihat bak bukunya yang selalu bertajuk inside out. Setelah mengenalnya lewat wawancara di English News Service dua tahun yang lalu dan bercakap-cakap dengannya dalam beberapa kali pertemuan peluncuran buku di Jakarta dan saat saya akan berangkat ke London untuk minta tandatangannya di dalam buku Jakarta Inside Out yang akan saya berikan kepada guru bahasa Inggris saya di British Council tahun lalu, otomatis saya tidak pernah melakukan kontak dengan dia.

Meski tak berhubungan secara intens dengan sang penulis lulusan SOAS, School of Oriental and African Studies, London, yang takjub dengan kehidupan Jakarta, ada saja berita yang sampai ke saya bagaimana sepak terjangnya di dunia penulisan. Terakhir saya dengar dari publisher Jakarta Inside Out, Mark Hanusz, bahwa Daniel sekarang bermukim di Bangkok. Daniel memang tidak membuang-buang waktu dan baru saja meluncurkan Bangkok Inside Out pertengahan tahun ini.

Sekadar ingin tahu bagaimana kabar Pak Ziv ini, saya berhasil mendapatkan nomor teleponnya dari seorang sahabat. Mungkin juga ada rasa ingin tahu apakah kebetulan Daniel berada di Phukett di mana efek dari gempa Aceh yang disusul dengan gelombang Tsunami yang sampai ke Thailand dan India, memporak-porandakan daerah wisata terkenal Thailand itu.

Sambil mengucapkan selamat Natal, saya memberi kabar juga bahwa saya telah kembali dari Inggris dan baru saja membaca Bangkok Inside Out di rumah seorang teman. Daniel tetap Daniel yang selalu ceria dan mengabarkan bahwa dia akan datang ke Jakarta tahun depan dalam rangka produksi film. Dan bahwa saat itu dia sedang menikmati pijat refleksi di daerah Chatuchak sambil menghirup teh hijau. Saya bilang, saya pikir dia kebetulan berada di Phukett dan akan menulis soal Tsunami dan senang sekali mendengar bahwa dia baik-baik saja.

Sebagaimana layaknya bule-bule yang tinggal di Jakarta, sebagaimana ia gambarkan dalam Jakarta Inside Out dalam bab “BWM=Bule with Mission”, saya tidak heran apabila Daniel punya pengalaman pribadi seperti yang ia tuliskan. Daniel menuliskan dalam salah satu deskripsinya soal bule di Jakarta bahwa bule di sini dengan bangganya mengaku-ngaku mengetahui dan mengenal sastra Indonesia hanya karena baru saja membeli satu koleksi buku Pramudya Ananta Toer edisi bahasa Inggris di toko buku high class di Jakarta. Saya rasa ini adalah pengungkapan Daniel yang paling mengena dalam hal menyindir kehidupan kaum expatriate di Jakarta karena membuat saya tersenyum. Mayoritas dari para expatriate memang bangga sekali apabila pernah membaca buku Bapak Ananta Toer dan akan memasukkan topik bagaimana mereka mengagumi sosok Pramudya dari tulisannya dalam bincang-bincang antar expatriate di jamuan malam ataupun minum kopi.

Dan sekarang, sambil menghirup teh hijau di weekend market di Bangkok, mungkin saja Daniel sedang mikir-mikir naskah film atau buku berikutnya. Oh well, Daniel, di Bangkok, di Jakarta atau di mana saya you berada pasti ada saja karya yang ada di kepala. Dulu majalah, setelah itu buku dan next will be a movie? Atau mungkin autobiografi Ziv's Inside Out? We are waiting, dude..!

THE DEAGLES AND THE DILLONS


Monday, 26 Dec 2004


Saya tidak ingat kapan pertama kali mengenal kedua keluarga ini. Yang jelas dari keempat personel keluarga Deagle dan dua personel keluarga Dillon, Paul Dillon adalah yang pertama saya kenal melalui suatu penganugerahan buku jurnalistik terbaik di Hotel Mandarin Jakarta sekitar tiga tahun yang lalu. Acara yang digabungkan dengan acara kumpul-kumpul para jurnalis asing se-Jakarta tersebut sebenarnya agak membosankan buat saya karena penuh dengan the foreign snobs yang kadang saya anggap suka berlebihan dalam mengekspresikan beberapa berita berat, macam bicara soal Kopassus, Timorleste atau Aceh.

Pada akhirnya Jihan Dillon-lah yang saya kenal melalui seorang kawan lama dalam suatu acara kekerabatan yang membawa saya masuk ke dalam kedua keluarga funky ini. Wanita ceriwis berambut cepak ini dulu saya pikir seorang foreigner, ternyata wanita berdarah Ambon-Jawa ini malah lebih fasih berbahasa Jawa dari saya dan tinggal di Pasar Minggu sana. Sejalan dengan waktu dan kesempatan membantu Tim Deagle dalam beberapa tugas televisi, mereka menjadi sahabat-sahabat saya juga, termasuk Aji Deagle sang istri dan Imaji, junior pertama keluarga Deagle serta the big guy, Paul. Dan pada kesempatan Natal ini, saya menjadi salah satu undangan yang hadir pada jamuan di rumah The Deagles.

Entah mengapa, mungkin karena saya rindu akan lampu-lampu Natal yang meriah di jalan-jalan dan di toko-toko London, atau salju tebal di Scotland yang saya alami pada bulan yang sama tahun lalu, Natal kali ini saya sambut dengan antusias, seperti halnya akhir bulan puasa menjelang Idul Fitri. Apalagi salah satu bayi keluarga Deagle, Rafael, baru saja berusia dua minggu menambah semangat saya untuk belanja kado-kado Natal, dan memasak roasted chicken bagi para undangan yang akan hadir.

Pasangan keluarga campuran ini memang memiliki banyak teman dan suka sekali keramaian di rumah mereka. Jihan dan Paul bahkan menikah di rumah keluarga Deagle saat saya masih berada di London. Saya rasa mereka adalah pasangan campuran Timur-Barat yang paling membumi dari berbagai hal termasuk cara mereka menjamu tamu-tamunya. Mereka bukanlah pasangan high maintenance yang harus membayar mahal makanan ataupun belanja mereka.

Tamu-tamu kali ini pun datang dari berbagai negara, dan ini membuat saya agak kecapaian juga berbicara dalam bahasa Inggris. Meski mereka tak keberatan kami, saya, Aji dan Jihan berbicara dalam bahasa sini, karena sebagian dari tamu-tamu lainnya mengerti, toh pada akhirnya semua percakapan otomatis dalam bahasa Inggris, termasuk saat berkomunikasi dengan si centil Imaji.

Natal tahun ini adalah pengalaman baru buat saya. Acara tukaran kado adalah yang paling meriah ibarat keluarga besar saya bagi-bagi angpau saat lebaran. Bukan jumlah atau nilai, tapi lebih kepada niat kita untuk berbagi. Natal kali ini memang tidak dihiasi salju putih atau orang-orang dengan pakaian Santa di jalan yang ramah menyapa selamat Natal kepada orang-orang yang lewat. Yang ada hanya hujan besar dan guntur yang mengguyur hari Natal. Tradisi di Indonesia memang berbeda, namun kali ini yang saya hayati lebih kepada rasa hormat saya kepada sahabat-sahabat saya yang mau berbagi keceriaan Natal bersama saya. Yang jelas, selain pulang dengan berbagai hadiah di tangan, saya masih tetap tersenyum mengingat perayaan Natal pertama saya. Santa Claus mungkin juga seorang Pancasilais sejati seperti saya atau juga seorang figur internasionalis yang tidak memandang siapapun dari budaya manapun…ho.ho..ho…..