Monday, August 23, 2004

SUSAHNYA JADI PENYIAR TVRI

Orang memang lebih kenal Ira Kusno yang baru saja menyandang predikat Penyiar Terbaik Pilihan Pemirsa dalam Panasonic Award meski sempat hilang 2 tahun di layar kaca karena meneruskan sekolah di Inggris atau Sandrina Malakiano yang berkibar di Metro TV, namun sebenarnya ada serombongan penyiar yang mungkin teralienasi dari pandangan publik, para penyiar TVRI.

Sosok mereka memang tidak se-glamour para penyiar televisi swasta, namun kerja keras mereka sebenarnya dua kali lipat lebih banyak. Mulai dari jadwal siaran yang tidak menentu, uang honor yang tersendat-sendat sampai penyediaan kostum dari kocek pribadi akibat birokrasi yang njelimet untuk menarik sponsor. Toh mereka tetap siaran dan mengikuti prosedur penyiaran dan tuntutan untuk tampil sebagai ujung tombak pemberitaan TVRI, stasiun televisi paling tua yang sudah mulai jarang dilirik oleh pemirsa. Dan tanpa disadari atau tidak, wajah mereka sebenarnya muncul lebih banyak di rumah-rumah di Indonesia mengingat jangkauan TVRI yang melebihi TV swasta. Bahkan banyak juga warga Indonesia yang berdomisili di Australia, Singapura dan Hong Kong yang menikmati wajah-wajah mereka.

Orang masih teringat akan ketenaran penyiar TVRI di masa lalu saat televisi ini masih memonopoli siaran. Publik pasti masih mengenal nama-nama beken seperti Tuti Aditama, Inke Maris, Idrus, Mariana Ramelan, Yan Partawijaya dan serentetan nama-nama lainnya. Salah seorang dari mereka masih tetap getol untuk siaran dan lucunya, pertama kali berduet siaran dengan beliau, saya geli kalau ingat mengagumi wajah beliau membacakan berita saat umur saya masih awal belasan tahun.

Sebenarnya tiga tahun belakangan sudah banyak wajah-wajah baru bermunculan di TVRI dan tampilan serta kecerdasan mereka sebenarnya tidak kalah dibanding penyiar televisi swasta. Kalau mau ditanya siapa yang disalahkan, nantinya akan merembet ke hal politis juga, akibat banyaknya gonjang-ganjing seputar manajemen TVRI.

“Kesederhanaan” memang sepertinya menjadi image penyiar TVRI. Apalagi sekarang di mana pola menonton kita dan cara kita memilih program televisi sudah sedemikian besarnya dipengaruhi televisi swasta. Apabila diperkenalkan sebagai seorang penyiar TVRI, orang pasti akan langsung bertanya, kenapa tidak pindah saja ke swasta? Dengan asumsi bahwa di TV swasta dengan proporsi siaran yang sama, jalan menuju ketenaran lebih banyak. Seolah-olah menjadi penyiar TVRI tidak terlalu menjanjikan. Agak menyedihkan memang apabila pertanyaan tersebut dilontarkan apalagi apabila diteruskan dengan peryataan: “Wah, nggak pernah liat, habis nggak pernah nonton TVRI.” Mengutip salah satu rekan yang pernah bilang ke saya:”Habis gambarnya kabur, wajahmu ndak jelas.” Salah satu hal yang juga biasa dihadapi penyiar TVRI adalah saat berkenalan dengan orang baru, mereka kenalan dulu baru menonton sang penyiar siaran ketimbang misalnya mengenal penyiar TV swasta di layar kaca dulu baru ngebet pengen kenalan apabila kebetulan duduk satu meja di café di mal.

Memang sebagian dari penyiar di televisi swasta yang sekarang berkibar paling tidak pernah merasakan menjadi penyiar TVRI. Si garang Rosi Silalahi dulunya bekerja di TVRI sekitar tiga tahun, Sandrina Malakiano dulunya penyiar English News Services di TVRI, program berita berbahasa Inggris yang menelorkan penyiar kondang macam Inez Sukandar, Tiya Diran dan Tengku Malinda. Anehnya setalah Rosi dan Sandrina mengundurkan diri dan bergabung dengan stasiun televisi swasta, tampilan mereka lebih cemerlang dan malah TVRI bangga bisa menelurkan penyiar sekaliber mereka, bukannya sedih karena penyiar mereka digaet TV lain dan justru kondang di kandang orang lain.

Ketenaran memang bukan menjadi pilihan untuk bekerja menjadi peyiar TVRI. Pada saat menandatangani kontrak, segera lupakan bahwa seorang penyiar TVRI akan langsung ngetop dengan jalan yang sama dengan penyiar televisi swasta.

Banggakah mereka? Ini pertanyaan yang sulit karena porsi kebanggaan dari masing-masing orang berbeda. Yang jelas mereka bangga dengan apa yang mereka lakukan. Biar bagaimana tampil di layar kaca membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri. Kebanggan tersebut kadang-kadang luntur apabila sudah beberapa bulan uang honor tidak muncul-muncul. Hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari dan meski sebel sendiri, toh tetap saja mereka siaran dengan senang hati dan tidak lupa tersenyum diplomatis di layar kaca. Kebesaran hati sudah biasa di TVRI. Karena memang tidak ada yang harus dipersalahkan mengapa honor yang rendah masih juga terlambat. Sekali lagi ini nantinya merambat ke political management. Sudah cukuplah media expert saja yang membahas bagaimana memperbaiki TVRI.

Keterikatan batin seorang penyiar dengan TVRI boleh dibilang cukup kuat. Salah seorang mantan penyiar yang sekarang meneruskan program S3 di Jerman pernah dengan semangatnya ingin memberitakan situasi pemilihan suara di Jerman April lalu. Tidak tanggung-tanggung meski sebagai seorang penerima beasiswa dengan kocek euro yang terbatas, dia langsung menempuh perjalanan bolak-balik dari Aachen ke Frankfurt tempat pemungutan suara dilaksanakan, demi TVRI. Demi telepon jalur internasional yang menginginkan bantuannya untuk memantau pemilu di luar negeri. Meski kecewa karena tidak jadi siaran langsung lewat telepon untuk siaran Dunia Dalam Berita, toh ia tetap berbesar hati dengan menerima keadaan TVRI (tepatnya ketidakprofesionalan) yang gagal melakukan siaran via telepon dengan alasan slot waktu tidak ada. Kebesaran hati memang salah satu syarat utama menjadi penyiar TVRI. Bahkan para mantan penyiar TVRI.

Dibilang susah memang susah, tetapi sebenarnya ada yang bisa dibanggakan menjadi penyiar TVRI. Kalau Plaza Senayan di Jakarta menjadi patokan dikenal atau tidaknya wajah seorang penyiar TVRI, lupakan saja kebanggaan untuk menjadi penyiar TVRI. Publik di sana lebih terbiasa dengan Kania Sutisnawinata atau mantan penyiar RCTI Jason Tedjasukmana. Namun berjalanlah di desa-desa atau pedalaman di Papua misalnya, ada kemungkinan besar masyarakat akan menyapa nama lengkap mereka dengan pandangan penuh harap untuk berfoto bersama. Sesuatu yang patut dihargai karena biar bagaimana TVRI tetap exist di Indonesia.

Mungkin ada benarnya semboyan TVRI yang tetap menjalin persatuan dan kesatuan.

PATUTKAH TVRI DI-IURKAN?

Minggu, 22 Agustus 04

Pertanyaan di atas masih mengundang konflik antara yang setuju dan tidak setuju. Meski Undang-undang Penyiaran Indonesia sudah mempersilakan TVRI untuk menarik Iuran Televisi dan mengambil jatah iklan sebanyak 15% dari jam tayang siaran, tetap saja Undang-undang tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan referensi mengapa Direktur Utama TVRI sekarang, Yazirwan Uyun nekat mengajukan proposal ke DPR Juni lalu untuk membebankan iuran televisi kepada masyarakat. Tidak tanggung-tanggung konsep yang diajukan adalah dengan menggabungkan tagihan listrik dengan iuran televisi, sehingga kalau masyarakat enggan membayar iuran televisi otomatis aliran listrik dicabut. Agaknya Yazirwan Uyun meniru gaya iuran televisi di Pakistan.

Undang-undang tersebut masih tergolong lemah karena tidak mengatur secara jelas mengapa TVRI harus di-iurkan. Alasannya hanya satu, karena pemerintah sudah menetapkan bahwa TVRI dan RRI adalah badan penyiaran publik.

Tapi apa sebenarnya badan penyiaran publik itu sendiri masih misteri di Indonesia. Apabila ditelaah mendalam, argumentasi dari Yazirwan Uyun adalah bahwa TVRI harus mempersiapkan diri menuju konsep TV Publik tahun 2005 mendatang, dan sebagai akibatnya, masyarakatlah yang harus dibebankan pembiayaan TV yang jangkauan siarannya mencakup seluruh Indonesia dan bahkan sampai ke manca negara.

Sikap Yazirwan Uyun juga dapat dimengerti mengingat pusingnya mengatur TVRI. Ditambah lagi memikirkan hutang TVRI yang mencapai 200 milliar kepada negara (www.asiamedia.ucla.edu/article.asp?parentid=11817). Untuk meminta hutang tersebut dihapuskan juga setengah mati karena pemerintah sepertinya melepas tanggung jawab setelah lebih dari 40 tahun mengeksploitasi stasiun tersebut. Sementara pemasukan dari iklan juga tersendat-sendat akibat siaran TVRI yang tidak mengalami peningkatan (ada sih, tapi tidak memenuhi harapan advertising company, menurut sumber dari dalam), serta management TVRI yang acak adul untuk mengatur bagaimana konsep yang baik bagi dunia periklanan untuk beriklan di TVRI. Tawaran yang paling menggiurkan cuma masalah jangkauan siaran yang mencakup seluruh negara kepulauan sehingga periklanan bisa memanfaatkan ratusan juta rumah di seluruh Indonesia untuk memasarkan produknya.

Jadi satu-satunya jalan memang cuma membebankan masalah keuangan TVRI kepada masyarakat, dengan dalih bahwa TVRI akan menjadi milik publik. Akan tetapi ini juga tidak adil karena yang dipikirkan hanya sekedar bagaimana TVRI bertahan hidup tanpa benar-benar memberikan argumentasi yang jelas dan intelektual mengapa masyarakat harus diberi kesadaran untuk membayar iuran televisi. Ditambah lagi saat ini konsep kita dalam menonton acara televisi sudah sedemikian dahsyatnya dipengaruhi televisi swasta. Mengapa harus bayar iuran televisi kalau stasiunnya sendiri sudah tidak pernah ditonton karena tampilan gambar yang buram atau acaranya yang gitu-gitu aja, sama seperti dulu zaman TVRI masih memonopoli siaran.

Konsep TV Publik inilah yang seharusnya menjadi kunci utama. Apa sebenarnya TV Publik juga tidak pernah dijelaskan oleh DPR. Bahkan ada keraguan apakah DPR sendiri mengerti konsep TV Publik ini sendiri. Kalau melihat kembali sejarah berdirinya TVRI, stasiun ini tidak lepas dari belenggu pemerintah. Saat President Sukarno dulu berinisiatif membentuk badan penyiaran TVRI tahun 1962 yang jadi alasan adalah untuk menyiarkan secara internasional event olahraga Asian Games. Secara tidak langsung sebenarnya TVRI sudah terbentuk oleh subyektivitas Sukarno, bukan karena tuntutan dari masyarakat. Sejalan dengan perkembangan negara Indonesia, apalagi masa Suharto yang nota bene melarang penyiaran iklan dengan dalih melindungi masyarakat dari gaya hidup konsumerisme tahun 1981, TVRI klop menjadi televisi propaganda pemerintah karena subsidi tahunan negara dimulai setelah iklan dilarang.

Apabila membandingkan dengan negara yang masih memberlakukan iuran televisi seperti Inggris, publik di sana sudah terbentuk dengan konsep dari TV Publik itu sendiri. General Manager BBC pertama, John Reith menampilkan argumentasi bahwa penyiaran merupakan sumber aset utama bangsa yang sangat berharga (Crisell 1997:13-14). Dalam argumentasi lainnya, Reith menjelaskan bahwa making money was not to be the object of broadcasting.”Since the Broadcasting Company regards itself as a public service…it behaves the trade to adapt their manufacturing and selling policy to the requirements of the public as reflected in BBC Policy”.(Briggs 1985:55)

Toh seyakin apapun John Reith menekankan pentingnya masyarakat dalam penyiaran ketimbang konsep televisi komersial yang digambarkan Ien Ang dalam bukunya Desperately Seeking the Audience sebagai “delivering audiences to the advertisers”, pada akhirnya argumentasi soal baik tidaknya iuran televisi tetap dipertahankan masih menjadi debat di parlemen Inggris. Padahal, transparansi soal bagaimana duit iuran dibelanjakan sudah dibuat go public di situs BBC www.bbc.co.uk/info/licencefee. Dari 5,500 responden dari survey yang dibuat oleh pemerintah, lebih dari setengah pembayar iuran televisi di Inggris malah mengaku tidak tahu menahu bagaimana BBC di-managed. Beberapa argumen dari masyarakat yang menolak membayar iuran televisi adalah makin buruknya siaran BBC. Sebagian lagi datang dari para pensiunan yang enggan menonton BBC karena acaranya lebih banyak ditujukan bagi generasi yang lebih muda (www.business.timesonline.co.uk/article/0,,9071-1186034,00.html).

Kalau dilihat secara keseluruhan, BBC masih merupakan salah satu badan penyiaran terbaik di dunia internasional. Secara nasional pun acara-acara yang ditayangkan masih bisa dikategorikan sangat bagus. Pada akhirnya iuran televisi jadi semacam perdebatan juga, bagaimana dengan TVRI yang kadang siarannya masih diterima dengan kabur (banyak semutnya kata keponakan saya), dan bahwa kebanyakan program pemberitaannya masih berkisar antara seminar dan elit pemerintah sebagai guest star?

Selain itu juga jatah uang iklan dari televisi swasta juga mandek. Iuran televisi zaman dahulu pun menimbulkan berbagai pertanyaan soal transparansi. Kemana larinya uang iuran itu? Apakah nantinya akan lebih ada transparansi dalam pengelolaannya? Yazirwan Uyun menjelaskan kepada Kompas 9 Juni 2004 bahwa pihaknya sudah melakukan review dari proposal yang diajukan oleh beberapa perusahaan swasta yang nantinya akan mengelola pembayaran iuran televisi. Tapi ia menolak untuk membocorkan nama perusahaan tersebut. Apakah ini sudah merupakan indikasi ketidakadaan transparansi nantinya?

Apakah ada perjanjian dari pihak TVRI sendiri kepada masyarakat bahwa siarannya nanti benar-benar jauh lebih meningkat dari sekarang saat masyarakat mulai membayar iuran? Agaknya ini jadi pe-er buat Yazirwan Uyun untuk benar-benar membuktikan apakah memang produksi TVRI nantinya bakal jadi favorit masyarakat, mengingat kompetisi yang ketat dengan 10 stasiun swasta. Memang tidak gampang mengulas masalah iuran televisi, karena dalam konteks Indonesia akan merembet ke masalah politik yang sejak zaman baheula sudah menjadi duri dalam daging di kubu TVRI. Jadi sekarang tergantung dari seluruh jajaran direksi dan karyawan untuk berkomitmen memajukan TVRI sebagai TV Publik.


Thursday, August 19, 2004

RENUNGAN SUNGAI THAMES

Kamis, 19 Agustus 04

Entah kenapa pada perjalanan menuju rumah dari Production House di Ealing, saya tergoda untuk berhenti di Embankment Station dekat sungai Thames. Sudah lama juga tidak jalan-jalan di sekitar sungai yang membelah kota London itu. Lagipula, saat itu sudah waktu makan malam, jam 6:30 sore, perut saya sudah agak lapar. Jadi, saat District Line, kereta yang saya naiki untuk menuju Whitechapel, berhenti di Embankment, saya turun.

Sore ini indah. Matahari masih bersinar terang dan para Londoner bersliweran pulang kerja sambil mencari tempat untuk minum di café-café. Selain itu turis juga banyak berjalan di sekitar sungai Thames. Saya mampir sebentar di kedai sushi, Wasabi yang terletak antara Embanment Station dan Charring Cross Station untuk membeli sushi take-away karena sudah lama tidak makan makanan borjuis itu.

Setelah itu, sambil menaiki jembatan Golden Jubilee yang menghubungkan embankment dengan London Eye pier, saya memandang aliran sungai Thames. Saat pertama kali melihat sungai yang kesohor tersebut, tidak ada kesan saya akan mencintai kota London, namun hari ini tampilan sungai tersebut lain dari biasanya. Mungkin karena musim panas dan biasanya saya menelusuri sungai Thames saat musim dingin.

Saat tiba di seberang sungai, sayup-sayup terdengar alunan musik. Arahnya datang dari National Film Theatre yang juga bersebelahan dengan Royal Festival Hall, tempat para seniman manggung, termasuk grup gamelan Southbank. Ternyata setelah saya melewati National Film Theatre ada pertunjukan black music dimana orang-orang berkerumun sambil minum. Pemandangan yang mengesankan, meski saya tidak tergoda untuk mampir dan sekedar duduk-duduk mendengarkan musik. Saya memilih untuk terus berjalan ke arah Southbank dan mencari tempat duduk untuk menikmati sushi saya.

Di tepian sungai Thames banyak sekali orang berjalan-jalan menikmati hangatnya sinar matahari malam yang panjang dan berkilaunya aliran sungai. Sesekali speedboat meluncur membelah aliran sungai yang tenang. Sesaat pikiran saya melayang membayangkan saat pertama memijakkan kaki di kota Jack the Ripper ini. London begitu kelabu, dan tetap kelabu sampai saat musim panas tiba. Jika dibandingkan dengan Paris, London kalah warna-warni. Dulu saya selalu membandingkan dengan kota favorit saya itu tapi hari ini saya benar-benar memilih untuk memberikan romantisme saya kepada kota dingin ini.

Di kejauhan bisa terlihat puncak dari kapsul-kapsul London Eye. Si jam megah Big Ben di House of Parliament terlihat samar. Orang-orang naik sepeda melewati tempat saya duduk dengan baju berwarna-warni. Maklum, meski musim panas, cuaca London bisa berubah seketika. Bahkan kadang ada guntur besar seperti kalau musim hujan deras di Indonesia. Jadi, agak menyenangkan melihat orang memakai baju satu piece, tidak berlapis-lapis untuk menghalau dingin.

Sambil menikmati sushi, saya membayangkan apakah saya akan kehilangan suasana London apabila kembali ke macetnya Jakarta. Satu tahun hampir berlalu dan tiba-tiba sudah waktunya studi saya rampung dan kembali ke kampung halaman, Jakarta. Satu hal yang saya sukai dari kehidupan di kota belahan bumi barat adalah berjalan kaki dengan nyaman tanpa gangguan keringat, asongan atau sapaan “ramah” orang-orang di jalan..mbak, mau ke mana….suit suit….

Musik masih terdengar sayup-sayup di telinga saya dan tanpa terasa, saya sudah menikmati indahnya kilauan air sungai Thames selama lebih dari satu jam. Sendiri. Agaknya kota ini sudah menaklukan saya. Dulu saya sangat terpesona dengan Paris yang sudah empat kali saya kunjungi dan tidak pernah bosan. Hari ini saya terpesona dengan London, dengan kelabunya, dengan buramnya gedung-gedung, dengan hujannya yang tak menentu…seandainya nanti saya bisa kembali, mungkin London akan jadi pilihan saya untuk bekerja dan menetap. Tinggal menunggu nasib saja yang membawa saya kemana. Sekolah akan selesai dalam waktu kurang dari tiga minggu. Dan setelah itu tibalah perpisahan dengan negeri Britania Raya untuk kembali ke Indonesia Raya, negeri saya tercinta.

Lamunan saya terpecah saat serombongan anak muda lewat tepat di muka saya dengan aksen Inggris utara yang kental. Perlahan saya bangkit dan berjalan perlahan menuju stasiun Waterloo East di belakang Royal Festival Hall untuk naik kereta menuju New Cross. London memang indah dan dinamis. Sedinamis langkah saya menuju rumah, untuk menulis renungan ini.

Wednesday, August 18, 2004

DANGDUT TUJUH BELASAN

London, Selasa, 17 August 2004


Entah kenapa rasa nasionalisme akan bangkit dengan sendirinya apabila saya berada jauh di negeri orang. Meski mangkir dari Upacara Bendera di kediaman Duta Besar di Wisma Nusantara pagi ini gara-gara terlambat bangun pagi seperti biasanya akibat chatting terlalu lama lewat internet, saya dengan semangat berangkat ke acara tujuh belasan. Padahal, tujuh belasan di kampung tempat saya tinggal di Jakarta hanya terkesan biasa-biasa saja, karena sudah rutin. Kali ini memang lain, lebih keren, tujuh belasan di London.

Dengan mengenakan kebaya yang sudah setahun tergantung di lemari pakaian karena belum ada occasion yang sesuai selama tinggal di negara Ratu Elizabeth, saya menempuh perjalanan dengan kereta bawah tanah selama hampir satu jam dan diteruskan dengan berjalan kaki dari stasiun kereta ke wisma selama hampir 20 menit. Maklum, tempat tinggal Duta Besar memang jauh dari stasiun ataupun kendaraan publik lainnya karena berada di daerah elit (posh, kata orang sini) London, Bishop Grove, yang berada di area Bishop Avenue, utara London. Konon, Mick Jagger punya rumah di daerah yang sama dengan Duta Besar.

Apalagi yang ditunggu kalau bukan makanan asli Indonesia buatan ibu-ibu dharma wanita KBRI. Dalam sekejap, ratusan orang Indonesia menyantap habis hidangan prasmanan. Selama tinggal setahun di London, saya belum pernah melihat demikian banyaknya orang Indonesia berkumpul. Sekitar 700-an orang membanjiri halaman belakang Wisma Nusantara. Hari Lebaran dan Natal pun kalah ramai.

Menurut keterangan salah satu orang Indonesia yang sudah bermukim di London selama empat tahun, tahun lalu acara tujuh belasan tidak seramai tahun ini. Agaknya ada yang menjadi pemicu mengapa banyak sekali orang Indonesia nongol di acara tujuh belasan. Dialah sang diva dangdut, Ikke Nurjanah yang khusus di-import untuk menghibur komunitas Indonesia di London.

Selain Ikke, si pelantun tembang keroncong, Toeti Trie Sedya juga kebagian menghibur. Mbak Toeti yang sudah melanglang buana di dunia tarik suara ini memang serba bisa. Tidak hanya keroncong saja, tapi hampir semua lagu dari setiap daerah dari Sabang sampai Merauke, sampai guyonan regional-pun dia fasih sekali.

Masa pun berkumpul di dekat teras belakang wisma yang disulap jadi panggung dadakan. Berjoget, bernyanyi dan saling menghibur satu sama lain. Wajah-wajah Indonesia yang tidak saya kenal dan yang pernah berkenalan menjadi satu di depan panggung.

Saat sang Diva dangdut, Ikke Nurjanah tampil, masa menjadi gila. Semua orang, mulai dari tenaga kerja domestik kita, ibu-ibu, bapak-bapak, sampai wartawan yang sedang menempuh program master di London (siapa ya….) jadi kepingin berfoto, sampai Ikke kesulitan untuk mencari space buat bernyanyi. Walhasil MC yang nota bene juga aktris sinetron, model, presenter TV dan juga dokter dan mahasiswa spesialis dari King’s College, Lula Kamal kebagian jadi kamtib. Membubarkan masa agar sedikit menepi dari Ikke. Pada akhirnya, susah juga memberikan space bernyanyi kepada Ikke, karena masa tetap mengeroyok Ikke untuk berfoto bersamanya, termasuk saya. Maklum, kapan lagi bertemu sang idola model iklan margarin dapur itu.

Meski London adalah negara Barat, dan akses untuk go internasional lebih banyak, toh pada akhirnya dangdutlah yang menjadi pilihan utama warga Indonesia. Saat Terlena dilantunkan, semua orang berjoget dangdut, tidak peduli dia pejabat, mahasiswa terbaik Indonesia penerima beasiswa (konotasi: ironi), anak kecil, pengusaha, orang Inggris sendiri ikut bergoyang. Di antara para pejoget, saya dan beberapa teman mahasiswa juga tidak ketinggalan berpartisipasi. Halaman belakang wisma nusantara yang luas berubah jadi ajang adu goyang. Semua orang gembira. Gembira merayakan tujuhbelasan, dan sesaat melupakan krisis nasional ataupun pemilu. Padahal spanduk besar sukseskan Pemilu terpampang megahnya di atas panggung.

Sekolah boleh jauh-jauh ke London. Setiap hari saat menulis disertasi, boleh mendengarkan Virgin FM, yang kondang dengan lagu-lagu Top 40 dunia tapi selera tetap tak berubah. Dangdut mania. Bahkan beberapa rekan mahasiswa (salah satunya sedang mengambil program master business administration, em be a) hapal luar kepala lagu-lagu dangdut. Nggak nyangka….

Entah karena sang diva datang, atau kebolehan mbak Toeti sebagai seorang entertainer, yang jelas, dangdut bisa dijadikan wahana pemersatu Indonesia. Terbukti dengan dipanggilnya sang juara karaoke tingkat KBRI London, yang menyanyikan lagu dangdut Jatuh Bangun, semua tetap berjoget, sampai lupa bahwa tujuhbelasan adalah hari Selasa, bukan weekend, yang nota bene, hari kerja di London. Beberapa warga yang bekerja di London pun bela-belain ijin makan siang panjang demi menghadiri acara di wisma nusantara.

Yang jelas, KBRI dan panitia tujuhbelasan boleh dibilang sukses menyelenggarakan acara kemerdekaan RI tahun 2004. Meski menampilkan spanduk semboyan tujuh belas Agustus yang berbau klise “Dengan Semangat Tujuh Belas Agustus….” yang terpampang ala kadarnya di atas panggung (mungkin karena mahalnya dana membuat spanduk yang megah di London), secara umum, hidangan dan hiburan, semuanya membuat orang…terlenaaaaaa….aaaaaaahhhh….kuterlenaaaaaaaa…….

Saturday, August 14, 2004

GAMELAN TAK HANYA MUSIKAL

London, 13 Agustus 04

Tugas membuat feature televisi ringan sebagai salah satu tugas terberat di departement saya menggiring saya untuk menjadi lebih tahu soal bagaimana perkembangan gamelan di Inggris Raya. Saat mengetahui dari dedengkot Southbank Gamelan, Alec Roth bahwa si ahli gamelan di Inggris adalah Neil Sorrell dari University of York, saya langsung membaca bukunya yang berjudul "Introduction to a Gamelan". Cuma memang buku tersebut lebih dikhususkan bagi calon penabuh.

Walhasil, karena tertarik untuk mengetahui mengapa jumlah kelompok gamelan di seluruh Inggris Raya termasuk Irlandia Utara mencapai 102 kelompok, maka saya memutuskan untuk membuat feature televisi soal perkembangan gamelan di Inggris.

York Minster, gereja tua di kota York nan indah menjadi saksi kedatangan gamelan. Gamelan "mendarat" di Inggris atas prakarsa Bapak Neil Sorell, pengajar instrumen gamelan di University of York 22 tahun yang lalu, tepatnya pada saat Paskah. Sebelum menjadi pengajar di universitas yang lebih terkenal dengan departemen biologi-nya tersebut, Neil mendalami musik di Amerika. Kecintaannya pada gamelan dimulai pada saat ia belajar menabuh di negara Paman Sam tersebut dan akhirnya ia semakin cinta dengan gamelan setelah mendalaminya di Jawa. Bagi seorang Neil Sorrell, gamelan sudah berbuat banyak kepada masyarakat yang mendengarnya, terutama saat dijadikan musik pengiring wayang kulit, Neil menjadi lebih terpesona akan luhurnya musik tersebut. Meski pertama kali mengalami kesulitan untuk mengimpor perkusi tersebut akibat keterbatasan biaya (menurut seorang pengajar tari di kursus tari Indonesia di London, harga seperangkat gamelan bisa mencapai 500 juta rupiah), akhirnya lampu hijau diberikan oleh universitas setelah para akademisi diyakinkan akan bergunanya musik ini bagi masyarakat.

Neil Sorrell sendiri memperkirakan bahwa perkembangan gamelan di Inggris sudah melebihi negara-negara yang sudah terlebih dahulu mengimpor alat musik kelompok tersebut, seperti, Amerika Serikat, Belanda, Jepang.

Memang gamelan bukan hanya sekedar instrumen musikal semata. Kenyataannya setelah masuk ke Inggris Raya, gamelan dijadikan sebagai alat untuk pendidikan musik untuk tingkat yang lebih tinggi lagi. Misalnya di Royal School for the Deaf and Communication Disorders, Manchester, gamelan Jawa dijadikan alat perangsang murid yang mengalami kesulitan berkomunikasi, misalnya tuli, untuk merangsang kepekaannya terhadap bunyi. Resonansi yang dikeluarkan gamelan ternyata lebih besar ketimbang alat musik perkusi lainnya.

Selain itu, gamelan juga diperkenalkan kepada napi di beberapa penjara di England. Cath Eastburn yang juga anggota utama kelompok Southbank memberikan ide tersebut. Menurutnya, sifat communal dari gamelan memberikan kesempatan kepada para napi untuk menyumbangkan sesuatu dalam satu kelompok. Pada intinya, setalah para napi ini kembali ke masyarakat, mereka mempunyai kepercayaan diri untuk memberikan sumbangsihnya kepada masyarakat atau paling tidak mereka sudah mempunyai satu keahlian yaitu menabuh gamelan. Tidak tanggung-tanggung, musim panas 2003 para napi bahkan sudah mengeluarkan album mereka yang berjudul "Good Vibration Gamelan in Prison". Dalam salah satu komposisi musik, mereka menembang bersama.

Keunikan gamelan menarik perhatian para penentu kebijakan di England untuk memperkenalkan musik perkusi ini kepada anak-anak sekolah dasar. Caranya adalah dengan memasukkan gamelan ke dalam kurikulum World Music di setiap sekolah dasar. Menurut Tony Knight, pakar musik dan kebudayaan dari Dinas Kurikulum Inggris, gamelan juga merupakan sarana memberikan pengetahuan kepada para murid untuk mengenal alat musik lain selain musik modern seperti piano ataupun gitar.

Saat melihat workshop yang diadakan di Southbank, murid-murid dari Sekolah Dasar Bessenger Grange kelihatan antusias untuk menabuh perkusi masing-masing. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka menyukai kegiatan tersebut.

Di beberapa universitas di London, gamelan juga sudah dijadikan subyek di departemen musik. Di City University, misalnya, ada 3 jenis gamelan yang diajarkan, Degung, Gamelan Jawa dan Gamelan Bali. Dosen pengajarnya adalah Andy Channing, seniman yang menurut Neil Sorrell hidup matinya adalah untuk gamelan dan dikonotasikan sebagai orang yang bahkan kalau tidur mendekap gamelan.

Anehnya, di KBRI sendiri tidak ada seperangkat alat gamelan. Yang saya temukan hanya satu gong yang sesekali dipukul untuk membuka acara-acara seremonial. Gamelan milik KBRI sekarang disimpan di School of Oriental and African Studies, SOAS dan boleh dipinjam untuk keperluan kelompok-kelompok gamelan. Menurut rumor yang beredar di kalangan seniman Indonesia yang tinggal di London, dulu (tidak pasti kapan waktu sebenarnya), KBRI mempunyai kelompok karawitan sendiri yang ajaibnya, menyewa guru galeman bule. Setelah beberapa lama vakum, perangkat gamelan tersebut seperti dibiarkan begitu saja, dan bahkan karena tidak ada yang memakai, hampir dibuang. Entah inisiatif siapa yang menyuruh agar gamelan disimpan di SOAS dan berguna bagi kelompok gamelan untuk ditabuh.

Yang jelas, dari 102 kelompok gamelan, Southban Gamelan memang yang paling aktif manggung. Mereka berdiri sejak tahun 1989. Kebanyakan anggotanya pernah menempuh pendidikan musik di Solo. Masing-masing anggotanya pun punya gawe-an masing-masing dan masih berputar di gamelan juga. Mengapa mereka begitu berdedikasi? Apakah karena menjadi penabuh gamelan bisa kaya di Inggris. Menurut John, penabuh gamelan Southbank yang pernah belajar gamelan di Solo, menjadi penabuh gamelan tidak menjanjikan uang yang banyak. Sama saja seperti di negara asal gamelan. Apalagi untuk kota mahal seperti London, hidup dari gamelan berarti perjuangan.

Sebagai tambahan, Southbank Gamelan juga mengadakan kursus gamelan bagi orang dewasa dan anak kecil. Jumlah muridnya juga tidak bisa dikatakan sedikit. Jadi, sebenarnya di negara orang, gamelan sudah menjaring peminat untuk mengembangkan alat musik tradisional kita. Bagaimana dengan Indonesia?





Friday, August 13, 2004

OLIMPIADE

London, 13 Agustus 04

Setelah 28 abad melanglang buana, akhirnya Olimpiade kembali ke tanah kelahirannya, Atena, Yunani. Hellas. Demikian orang-orang Yunani menyebut negerinya yang konon indah dengan Acropolis-nya, simbol kota Atena. Pembukaan Olimpiade malam ini juga ditonton oleh teman-teman satu flat saya dengan berbagai komentar. Secara umum komentar soal pembukaan Olimpiade adalah sangat bagus dan spektakuler. Tapi ini memang benar menurut pandangan saya , bukan hanya karena dua orang teman flat saya berasal dari negeri mitologi tersebut.

Sambil termenung dengan pikiran masing-masing, kami berempat minus Kate yang sedang liburan di Kroasia dengan sang pacar, layar televisi bekas 14 inch yang kami letakkan di dapur menjadi pusat perhatian. Sementara layar laptop yang sejak siang tadi sudah menghiasai meja makan terbengkalai dengan sendirinya. Hanya Olimpiade yang bisa mengalahkan konsentrasi disertasi malam ini.

Tim Indonesia juga terlihat di antara barisan-barisan atlit. Wajah Hari Sabarno juga menghiasi layar dengan senyum khas-nya di bangku VIP. Bangga juga sih, paling tidak karena bendera Indonesia terlihat di layar televisi di London. Bravo, bravo!

Lupakan disertasi dan tontonlah Olimpiade. Agaknya selama tiga minggu ke depan ini bakal terjadi. Apalagi mengingat jumlah mahasiswa negeri dewa tersebut termasuk banyak di Goldsmiths. Saya sendiri sampai terbiasa dengan bahasa Yunani, parakalo, eufkaristo polis (mudah-mudahan ejaannya benar) dan serentetan kata-kata lain yang tidak mungkin dipublikasikan saking kasarnya. Belum termasuk masakan musaka, humus, keju feta ataupun olive oil asli.

Yang jelas, apabila tadi malam kami semua terlihat serius dengan tumpukan buku dan laptop masing-masing di dapur, malam ini fokus utama sudah berubah. Demikian spektakulernya upacara pembukaan Olimpiade di Atena. Kembang api yang menakjubkan, penyalaan api olimpiade yang spektakuler sampai runtutan negara-negara di mana Olimpiade pernah dilaksanakan dan sempat terhenti selama perang dunia pertama dan kedua berlangsung. Bikin merinding.

Sempat terlintas dalam pikiran saya adalah, saat nama-nama kota penyelenggara Olimpiade disebutkan, terbayang kapankah Jakarta atau kota lainnya di Indonesia dapat menjadi tuan rumah penyelanggara Olimpiade. Mungkin saja sang Gubernur Jakarta bakal punya proyek baru. Taruhlah misalnya Jakarta terpilih jadi tuan rumah Olimpiade. Yang jelas tim manager atlit Amerika dan Inggris bakal minta penjagaan ekstra VIP. Mungkin dikawal pake panser segala dari airport ke hotel. Di Yunani saja mereka sudah minta pengawalan macem-macem, apalagi di negara yang dianggap dunia sebagai sarangnya teroris? Mungkin ini bisa dijadikan poll pemirsa di televisi, seandainya Jakarta jadi tuan rumah Olimpiade. Atau ketimbang mempermasalahkan persoalan rumah tangga artis, satu tabloid harusnya mengadakan riset soal ini, dan mengharapkan jawaban dari sms pembaca, ketimbang mempertanyakan opini publik lewat sms, kenapa si artis anu tidak mau mengakui siapa ayah dari anaknya.

Tapi yang pasti, Yunani adalah bintang di dunia olahraga tahun ini setelah sukses menaklukan Portugal di final Piala Eropa 2004. Bravo Hellas!!

DISERTASI

London, Jumat, 13 Agustus 2004
Masa-masa kuliah memang penuh suka duka, apalagi kalau sudah lama meninggalkan bangku sekolah dan tiba-tiba harus kembali menghadapi dunia akademis. Yang paling menyebalkan adalah menulis tugas akhir sebagai salah satu syarat utama untuk berpisah dengan kampus tercinta di Inggris Raya. Meskipun jadwal kuliah penuh dengan praktek-praktek jurnalistik, pada akhirnya saya kebagian jatah menulis juga. Dan dibanding rekan-rekan satu flat yang mengambil pendalaman teori, sebenarnya disertasi saya tidak terlalu panjang seperti mereka. Para mahasiswa teori diharuskan menulis antara 10,000 sampai 15,000 kata. Oh My God!!!
3000-4000 kata sebenarnya tidak terlalu panjang untuk dijadikan disertasi. Tapi kalau memang departemen menamakannya begitu, ya sudah, itung-itung namanya keren, disertasi. Tapi meski "hanya" 3000 kata, depresi yang dialami cukup mendalam, belum ditambah rasa bosan nongkrong di depan komputer berjam-jam karena sudah terbiasa lari ke sana kemari buat cari sesuap nasi. Demi seonggok gelar Master of Art yang belum tentu juga menjamin diakui sebagai kalangan bourgeois.
Hampir semua rekan menghadapi depresi yang sama kecuali mereka yang sudah terbiasa melakukan riset dan mempunyai rasa lapar yang sangat akan buku-buku ilmiah. Ketakutan akan lewatnya tanggal jatuh tempo dan dosen yang sudah mulai sulit ditemui karena sudah liburan musim panas. Belum lagi kalau lagi seru-serunya menulis, tiba-tiba ada undangan barbekyu yang menggiurkan. Akibatnya menjadi dilema berkepanjangan. Maklum, di mana ada makanan gratis, di situ ada mahasiswa.
Senangnya membuat disertasi adalah banyaknya buku-buku referensi yang tersebar di seluruh perpustakaan di Inggris. Apabila fasilitas in-campus tidak memadai, dengan senang hati perpustakaan akan meminjam ke perpustakaan pusat, tanpa kita harus pontang-panting naik bis atau kereta untuk ke tempat tujuan. Tinggal tulis judul di secarik kertas yang berjudul Inter-Library Loan, tunggu seminggu, cek email, datanglah sudah dengan kompensasi pembayaran antara 1-2 poundsterling per buku. Coba dulu saat membuat skripsi program S1 di Universitas (yang katanya) paling bergengsi, UI, kalau buku tidak tersedia di perpustakaan, jangan harap ada jaringan yang bisa membantu mahasiswa. Kadangkala, mahasiswa harus keluar kocek sendiri demi membeli buku dari luar negeri atau mengunjungi perpustakaan di luar kota.
Hanya saja, dosen tidak pernah mau tahu apa yang kita tulis dan tidak mempengaruhi dengan situasi memaksa agr kita mengikuti kemauannya dalam menulis disertasi. Lah wong itu hasil pikiran kita sendiri kok. Paling-paling juga mereka memberikan referensi dan kadang nomor-nomor orang yang perlu kita hubungi. Jangan harap mereka mau mendikte kita, meski mereka juga kadang susah dihubungi.
Di College saya yang katanya beken karena banyaknya media expert Inggris yang lahir di sana seperti James Currant, Daya Thusu atau Angela McCorby, perpustakaannya lumayan lengkap. Terutama untuk media dan komunikasi. Layanannya pun cukup memuaskan meski kalau dibandingkan dengan kampus-kampus lain, yang saya tidak tau persis yang mana, jam buka perpustakaan College saya termasuk terbatas, cuma sampai jam 9 malam. Sementara ada kampus yang perpustakaannya buka 24 jam. Cuma kadang saya berpikir, apa ada mahasiswa yang memang ngebet belajar sampai 24 jam di perpustakaan.
Walhasil, disertasi tidak akan tersendat karena kurangnya bahan-bahan ilmiah. Seharusnya sih penulisan bisa jadi lebih cepat tapi karena banyaknya dilema tadi, terutama sebagai mahasiswa asing yang masih kepingin menikmati indahnya pemandangan dan hiburan kota London, agaknya dilemanya lebih besar. Apakah konsentrasi menulis atau jalan-jalan ke Soho, Oxford Circus atau melihat konser-konser musik yang banyak sekali diadakan setiap minggunya. Belum lagi film asing yang banyak dipertunjukkan di sini. Belum tentu bisa nonton di Indonesia. Pasti harus menunggu festival internasional.
Yang paling enak, apabila kedua kegiatan tersebut digabungkan. Misalnya bawa laptop (bagi yang memiliki) ke taman kota dan duduk sampai dua jam untuk menulis disertasi. Hasilnya 1000 kata atau bahkan lebih bisa didapat. Atau kalau punya uang lebih, bisa juga bawa buku-buku ilmiah yang setumpuk ke cafe karena suasananya menarik dan tidak terlalu bising. Cuma soal willingness saja sebenarnya. Semoga sukses.

Thursday, August 12, 2004

PENCARI SUAKA

London, Sabtu, 31 Jan 04

Sekolah di luar negeri ternyata tidak seenak yang dibayangkan orang. Selain uang beasiswa yang terbatas, ditambah cuaca dan terlebih lagi untuk mencari networking yang sesuai dengan mata kuliah wajib.

Bak orang asing yang “dibuang” di tengah hutan belantara London, susah sekali rasanya mencari orang yang sesuai untuk dapat membantu proyek feature sekolah. Masalah bahasa, ketidaktahuan akan struktur agak sulit dihadapi bagi mahasiswa asing di Inggris, terutama dari negeri yang jauhnya sekitar 16 jam perjalanan dengan pesawat terbang. Alamak, sementara renggat waktu sepertinya tidak dapat berkompromi dengan kita, hasilnya stress, berargumentasi dengan dosen, dan sibuk mencari sumber di internet. Masalah yang paling hebat adalah bagaimana berkompromi dengan udara yang temperaturenya rendah sambil membawa-bawa kamera, microphone, berlari dengan hati-hati karena takut terpeleset akibat jalan yang licin.

Hari ini meliput para pencari suaka yang berdemonstrasi di dekat Kemtish Town Road, dekat tempat belanja kaki lima Camden Town. Sulitnya mengoperasikan kamera akibat tangan yang dingin, sementara kalau memakai sarung tangan, takut kamera itu jatuh terbanting karena bahan wool yang licin kena metal. Belum lagi harus bolak-balik membersihkan lensa kamera yang terkena titik-titik hujan. Duh, repotnya. Sementara di punggung bergelantungan tas kamera, tripod, dan tas isi air minum dan makan siang (mau beli mahal).

Tapi agak bangga juga sih, karena banyak orang yang terheran-heran melihat barang bawaan yang berat, ditambah dengan cuaca dan jalan licin, gerakan kita harus tetap lincah mengikuti para pemrotes. Dari segala sudut harus diambil.

Maka itu, lega rasanya apabila tugas liputan sudah selesai. Yang terbayang adalah pulang ke asrama, bikin kopi dan makan indomie yang dibeli dari toko cina di pusat kota. Tidak ada duanya memang. Biar kemana orang kita pergi, pasti mencari indomie sebagai makanan wajib mahasiswa.


MATI LAMPU

London, Kamis 29 Jan 04


Ternyata bisa juga lampu mati berjam-jam di Inggris. Dulu bayangan saya Inggris ini negara yang sudah demikian maju dan teratur, sehingga penanganan masalah publik akan lebih cepat.

Anehnya cuma beberapa flat di Dean House saja yang listriknya padam, termasuk flat saya dan Wida. Tutor Dean House, si mahasiswi S3 asal Yunani, Katarina masuk ke flat dan menenangkan kita semua, dengan mengatakan bahwa dia akan minta konfirmasi ke management Loring Hall, kira-kira seratus meter dari Dean House.

Lucunya setelah itu tidak ada kabar apapun. Karena saya tidak suka dalam kegelapan, saya telpon Loring Hall. Suara perempuan dengan aksen Inggris yang kental mengatakan kepada saya bahwa masalah berasal dari “Electricity Board” (semacam PLN setempat) dan Katerina sudah kembali ke Dean House dan akan mengatakan alasannya kepada kita.

Dengan menyalakan lilin dan rokok Ji Sam Soe, saya duduk di lorong flat di depan pintu kamar saya dengan Julie yang duduk di kursi yang mengganjal pintu kamarnya agar terbuka. Kami harus belajar dan satu-satunya sinar memang datang dari lampu darurat yang ada di lorong. Sambil membaca-baca Headline Guardian soal krisis BBC, saya menunggu-nunggu juga sang Katarina ini datang ke flat.

Ada tiga tutor di Dean House, Katarina, Demetrios (entah kebetulan atau disengaja, dua-duanya orang Yunani) dan Miranda (atau Amanda). Kebetulan no telepon Katarina agak hilang dari fotocopy-an yang ditempel di pintu di dapur, jadi Julie berinisiatif menelepon Dimitrios. Sudah satu jam listrik tidak menyala juga. Saya menguping Julie dari luar kamar, meski saya toh tidak mengerti karena mereka memakai bahasa Yunani, ya namanya juga penasaran, otomatis pasti jalan aja. Ternyata menurut Dimitrios, listrik baru akan menyala sejam kemudian, tapi itu pun belum pasti karena masalahnya dari PLN.

Walah, tidak ada kabar apapun (katanya di Inggris), dan kami sudah ngejogrok di atas karpet di lorong flat sambil ngelamun karena mau masak juga kompor otomatis mati. Mau bikin air panas saja tidak bisa. Memang dasar, apa mungkin karena kita mahasiswa dan manajemen-nya suka bersikap mereka sang mahaguru, jadi service-nya angin lalu saja. Dan sampai listri menyala pun mbak Katarina itu tidak muncul-muncul.

KRISIS BBC

London, Kamis, 29 Jan 04


Krisis terjadi di kantor BBC. Pimpinan tertingginya, Greg Dyke mengundurkan diri akibat masalah wawancara dengan sang ahli senjata pemusnah masal, Dr. David Kelly. Rasa bersalah si Pak Dyke akibat sang doktor yang pada saat diwawancara berstatus anonym ini dianggap bunuh diri karena rasa bersalahnya sudah membocorkan rahasia negara Inggris Raya.

Saya ingat sehari sebelumnya di ruangan MB 256, Tim Crook, si ahli Media dan Undang-Undang memberikan ceramahnya yang memancing kami untuk membicarakan masalah yang dikenal dengan nama “The Hutton Inquiry”. Tiap mahasiswa punya pertanyaan masing-masing dan sepertinya apabila ini menarik, tanggal 17 Februari bakal keluar di ujian Media and Law (meminjam istilah rekan kelas saya dari China, Tim Crook si “Tukang Jagal” yang berarti bahwa kita adalah binatang korban pada hari jagal beraksi).

Para karyawan BBC pun ikut simpati dengan sikap Dyke. Mereka pada walk out dari kantor masing-masing, tapi bukan bearti BBC tidak siaran. Meski gembar-gembor urusan Lord Hutton ini menjadi topik utama, yang lebih membuat teman-teman flat tertarik adalah film “The Mask of Zorro” dan membicarakan si Antonio Banderas yang lebih ganteng kalau pake topeng.

Lucu memang, kalau dipikir, setelah seharian kemarin nonton “perang” antara Tony Blair dengan si Howard di gedung parlemen dan mendengarkan laporan si Hutton yang jumlahnya tigartusan lembar (sudah diringkas tetap saja makan waktu sejam), agaknya satu flat memang tidak ada yang tertarik sama politik. Saya sendiri lebih tertarik dengan hujan salju di luar pelataran asrama dan foto-foto di lapangan sekolah http://img.photobucket.com/albums/v419/Handewi/IMGP0769.JPG. Kate bahagia sekali hari ini menonton opera sabun Australia “Neighbour” setelah televisi yang kita beli berempat saya monopoli dengan berita-berita BBC dan Channel Four.

Lord Hutton Report memang bertepatan jatuhnya dengan salju yang lama ditunggu-tunggu warga London. Apalagi orang Asia seperti saya yang belum pernah menyaksikan butir-butir putih jatuh dari langit. Ibarat memang public Inggris Raya diam-diam menunggu-nunggu keputusan tersebut jatuh. Agaknya sebagian orang ada yang kecewa, karena BBC yang dianggap menjadi penyebab tidak langsung bunuh dirinya si dokter senjata tersebut. Tim Crook sendiri menyindir dengan mengatakan bahwa pemerintah (Inggris) akan mengeluarkan nama seseorang yang rahasia ke media dengan memaksakan si orang tersebut bunuh diri pada akhirnya. Kasihan Kelly, senjata pemusnah masal itu menjadi pemusnah dirinya sendiri.




ALL ENGLAND

Birmingham, 17 Maret 2004


Kalau dulu saya senang sekali liat jagoan bulutangkis Indonesia macam Liem Swie King, sampai era spektakuler si penentu Piala Thomas, Hastomo Arbi lewat layar kaca, tahun ini saya ternyata berada di tengah-tengah bangku supporter di gelanggang All England yang berlangsung di Birmingham.

Bak mimpi, even olahraga bergengsi ini ada tepat di depan mata. Dengan biaya minim karena uang beasiswa yang pas-pasan, perjalanan London-Birmingham dilandasi dengan semangat menggebu-gebu untuk menyaksikan para pebulutangkis kita berlaga, selain tentunya juga bertemu dengan teman-teman senasib sepenanggungan, calon-calon pemimpin Indonesia masa depan penerima beasiswa.

Meski Birmingham tidak seindah London atau secantik Bath, namun paling tidak, saya melihat sisi lain dari Inggris Raya. Birmingham si kota industri yang hanya memiliki satu fasilitas sirkulasi publik,bis kota (itupun datangnya tidak ketahuan jadwal). Atau kalau mau borju sedikit, meniru gaya Jakarta, kemana-mana naik taksi. Inipun dieksekusi dengan jalan patungan, walhasil jadinya sama dengan naik bis karena berdesakan dengan 5-6 orang rekan pelajar.

Yang paling menarik dari kota Birmingham sendiri adalah patung kerbau yang berdiri dengan gagahnya di tengah-tengah perbelanjaan dekat si mall megah Bull Ring, yang arsitekturnya ibarat motif polkadot rok Ibu saya jaman baheula. Kami memelesetkan namanya menjadi “banteng PDIP’.

Meski kami yakin tak satupun pemain Indonesia punya kans masuk final, namun menghadiri kejuaraan All England (mumpung lagi belajar di Inggris, katenye…) merupakan satu prestasi tertentu bagi pelajar Indonesia. Rame-rame berdiri di balkon, joget-joget, memberikan semangat pada pebulutangkis kita dan tentunya….masuk TV Inggris yang hak siar-nya dibeli TV7 adalah tujuan utama. Biar sanak saudara melihat. Tentunya dengan jalan mengirim pesan lewat SMS agar mereka bersiap-siap melotot depan TV menunggu kamera dialihkan ke bangku penonton.

Memang senang sekali rasanya bisa mengibarkan bendera merah putih di luar negeri. Meski akhirnya pemain kita kalah telak semua, termasuk jagoan kita yang selebritis, Taufik Hidayat, paling tidak, bergaya di TV sudah menjadi satu kepuasan sendiri. Apalagi kalau terima pesan SMS dari Jakarta yang bunyinya “hei, ngapain lu di Birmingham?”…dan setelah itu bisa pulang ke rumah dengan lega….

Kalaupun Indonesia Raya tidak berkumandang di Inggris Raya, paling tidak, Birmingham di bulan Maret 2004 bisa menjadi suatu kenangan yang tak terlupakan. Kenangan indah masa-masa jadi pelajar biaya minim. Toh, suatu hari pasti ada gunanya, untuk menyombongkan diri misalnya, apabila kepepet tidak punya sesuatu yang dibanggakan..”oh, saya pernah nonton All England di Birmingham tahun 2004.” Hidup Indonesia!

GAMELAN

Friday, London, 6 Feb 04


Aneh juga rasanya kalau berada di negeri yang jauhnya ribuan mil dari rumah, tapi bisa mendengar alunan gamelan. Uniknya gamelan ini bukan ditabuh oleh orang-orang yang patut bernama Joko atau Endah, tapi kali ini pemain-pemainnya bernama John, Maria atau Isabelle. Ini yang saya temukan di Royal Festival Hall, Southbank.

Salah satu pemain yang belakangan saya tahu bernama Maria, pandai sekali menembang dengan cengkokan yang benar-benar sempurna, ibarat mendengar tiruan Ibu Waljinah. Tidak hanya itu saja yang membuat saya terkagum-kagum. Saat saya sedang ngobrol dengan Aris, satu-satunya wajah Joko di grup gamelan ini, nona Maria tiba-tiba melintas di depan kami sambil membungkukkan badan, ibarat saya kalau harus melewati dua orang yang saking berhadapan dan berbicara, kalau tidak mau kena semprot almarhum Mbah Putri saya.

Ada lagi yang membuat saya tersenyum. Saat saya duduk dan siap-siap mendengarkan mereka latihan gamelan, tiba-tiba londo-londo ini berbicara bahasa Jawa satu sama lain. Sayangnya saya tidak bisa menangkap apa bahasa Jawa halus atau kasar. Dalam hati saya bilang, jangan-jangan setelah ini masuklah Pangeran Charles ngomong Kromo Hinggil…

Dunia kadang memang terbalik. Entah negara saya yang terlalu kebarat-baratan dan membuat orang-orangnya berusaha keras menjadi John Wayne, atau memang budaya kita ini sedemikian luhur sampai-sampai orang barat pun mendalaminya. Baru kerasa saat salah satu pemain duduk di sebelah saya sambil bertanya siapa saya. Saya jawab dengan bahasa londo itu bahwa saya mahasiswa. Dia bertanya saya berasal dari mana. Saya bilang dari Jawa Tengah di mana gamelan di depan kita berasal. Otomatis dia menebak saya orang Yogyakarta. Hmmm, turis benar, piker saya, meskipun dia memang benar, karena satu set gamelan lengkap di depan kami itu memang gamelan Yogyakarta. Saya menerangkan bahwa saya berasal dari kota kecil yang jaunya sekitar dua jam perjalanan mobil dari Yogyakarta. Saya tidak berpikir apa-apa saat menyebut nama Kebumen dan bermaksud menjelaskan di mana letak geografis kota asal Ibu saya itu.

Herannya dia malah langsung menyebut, oooo, Kebumen yang kota ng-genteng itu ya. Ealah, sudah tau banyak, masih ditambah dengan penekanan ng sebelum kata genteng dan pelafalan t yang Jawa kental. Setelah itu dia langsung nyerocos pake bahasa Jawa. Saya mengerti apa yang dia maksud, sambil berpikir keras mengingat-ingat kosakata bahasa Jawa saya yang sangat minim agar bisa menjawab si londo ini. Toh akhirnya yang keluar adalah bahasa londo itu juga dari mulut saya.

Konon gamelan mempunyai notasi yang lebih rumit dibanding alat-alat musik lainnya di dunia. Menurut website salah satu koran terbesar di Inggris, the Guardian, formasi gamelan Jawa adalah formasi yang paling rumit dan kompleks di seluruh dunia sebelum musik klasik Barat dan musik India Utara.

Anehnya yang membuat riset tersebut adalah seorang ahli dari Wesleyan University di Connecticut, di negara Paman Sam. Namanya Heather Jennings. Tambahan Jenning lagi, tidak semua musik kompleks itu enak didengar, karena apabila satu sama lain saling bersahut-sahutan, maka kedengarannya hanya semacam bunyi yang berisik. Maksud Ibu Jenning ini agaknya menekankan bahwa gamelan ini sangat menarik karena meski bunyinya saling beradu satu sama lain dan kompleks, tetapi terdengar enak di kuping.

Sayangnya malam ini saya tidak bisa mendengarkan lantunan gamelan secara komplit, karena mereka sedang latihan persiapan manggung tanggal 27 Feb. Lagu yang dibawakan bukan alunan macam Kebo Giro atau tembang-tembang Jawa di kaset yang diputar saat kawinan Jawa, tapi judulnya keren benar John Adam Orchestra. Mungkin ini salah satu pelajaran juga buat orang kita, supaya jangan sampai nantinya pada saat semua orang kita kepingin jadi John Wayne atau Madonna, dan tiba-tiba kepingin sekali-sekali menikmati gamelan Jawa. Bukannya lari ke Kraton Kasunanan malah terbang ke London dan bayar ribuan dollar. Tapi kalau memang gengsi yang dipilih, bukan tidak mungkin orang kita berlaku demikian…