Wednesday, July 20, 2005

GANTI NAMA


Beberapa minggu terakhir saya memakai nama belakang baru. Sebenarnya bukan baru dan diganti, tetapi saya memakai nama almarhum Bapak yang dulunya memang agak bertanya-tanya, atau mungkin memendam sedikit rasa kecewa karena embel-embel namanya tidak dipakai di belakang nama saya untuk siaran di televisi. Sementara saya berkeras memakai nama sendiri karena semata-mata memang saya suka dengan nama saya sendiri dan saya adalah saya, bukan Bapak. Apalagi saya dididik untuk berpendirian. Ya salah siapa, coba? Praktis sejak nama Bapak ditaruh di belakang nama saya, para kru televisi bertanya-tanya siapa suami saya.

Lucu juga rasanya disangka menikah dengan orang jadul alias jaman dulu. Nama Bapak memang muncul dengan ejaan jaman Belanda di mana vokal “u” masih ditulis dengan “oe”. Saya wanti-wanti bilang ke master control supaya tidak salah tulis, selain ada rekan penyiar lain yang bermarga sama tetapi ayahnya lahir di jaman Ejaan Yang Disempurnakan sudah disahkan. Biar tidak disangka bersaudara. Kalau yang agak jeli dengan masalah ejaan, pasti langsung menebak bahwa itu nama Bapak saya sendiri, tapi kalau yang tidak terlalu berpikir panjang menyangka saya baru saja menikah, bahkan ada yang menyangka saya baru saja bercerai, mengingat ada juga rekan penyiar yang berganti nama karena perceraian. Otomatis nama suaminya diganti menjadi nama Bapaknya. Akhirnya saya sempat dijadikan bulan-bulanan selama beberapa hari. Apalagi saya tipe orang yang malas menjelaskan urusan pribadi. Jadi ya masa bodoh.

Hanya untuk sekedar menghormati almarhum Bapak dan menyenangkan para kerabat Bapak di Jawa sana, maka saya melepas nama belakang saya dan menggantinya menjadi nama Bapak. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan pengaruh nama Bapak di tanah leluhur saya yang katanya punya jiwa priyayi yang ketat. Apalagi kalau ditambah nama belakang almarhum Eyang kakung yang panjangnya melebihi nama saya di akte kelahiran. Saya bukan priyayi, kok.

Selain itu saya berpikir untuk mempunyai mind set yang baru, dengan segala kualitas dan tujuan hidup yang baru. Apalagi ke depan buat saya jauh lebih berharga ketimbang memikirkan apa saja yang sudah saya lakukan sebelum-sebelumnya. Pakai nama baru hanyalah suatu simbol belaka. Meski belum satupun keluarga di Jawa yang menelepon untuk bersama-sama berbahagia dengan penggunaan nama Bapak, saya cukup puas dengan apa yang saya lakukan.

Mungkin juga Bapak entah di mana lagi senyum-senyum meledek saya yang akhirnya memakai namanya juga.

REFORMASI SAMPAH

20 July 2005

Ini bukan bicara soal politik. Tetapi memang reformasi ada kaitannya dengan sampah, setidaknya itu yang dirasakan Pak Nasir seorang pendayung perahu yang sehari-harinya bergantung pada orang-orang dan turis yang menyeberang di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Kembali ke Pelabuhan Sunda Kelapa mengingatkan saya pada semasa kuliah saat pertama kali saya menyeberangi kanal di Sunda Kelapa tempat perahu-perahu pengangkut kayu berlabuh, untuk mencapai kampung nelayan yang bernama Kampung Luar Batang. Saat itu air kanal memang sudah agak kecoklatan tetapi paling tidak lumayan bersih dan bebas dari sampah. Tetapi kali ini kanal sudah dipenuhi oleh sampah-sampah yang membanjiri air kanal yang warnanya bertambah coklat.

Menurut penuturan Pak Nasir yang berdarah Bugis, dulunya memang kanal tersebut tidak terlalu dipenuhi oleh sampah. Jamannya Pak Harto, kata Pak Nasir, orang-orang kampung semua bergilir mengumpulkan sampah dari kanal, karena adanya himbauan bahwa tempat tersebut sangat penting bagi pariwisata. Tetapi malah setelah reformasi, kanal tersebut malah dipenuhi oleh sampah dan kebiasaan mengumpulkan sampah dengan cara kerja bakti sudah ditinggalkan.

Pak Nasir sendiri menggantungkan nasibnya pada orang-orang kampung yang ingin menyeberang, atau turis mancanegara ataupun dalam negeri yang ingin menyeberangi kanal sampai ke kampung Luar Batang. Dari kampung ini para penyeberang selanjutnya berjalan kaki menyeruak kampung untuk tiba di Musium Bahari yang letaknya persis di belakang kampung. Dengan membayar Rp. 30,000 saja yang tentunya sangat berarti bagi Pak Nasir, kegiatan pelabuhan Sunda Kelapa dapat dinikmati dari atas perahu kayu.

Bayangkan saja apabila memang reformasi berdampak secara tidak langsung pada penumpukan sampah di Pelabuhan Sunda Kelapa, sementara reformasi katanya masih terus berjalan. Mungkin nantinya orang-orang seperti Pak Nasir akan bisa kehilangan pekerjaan karena para pendatang dari dalam maupun luar negeri sudah tidak tertarik lagi mengunjungi pelabuhan Sunda Kelapa.