Wednesday, November 30, 2005

SAUNA PENYIAR

Wednesday, 30 November 2005

Selentingan percakapan di sauna membuat saya gatal untuk menuangkannya dalam tulisan. Dua orang gadis belia yang kelelahan setelah berolahraga berangan-angan menjadi seorang pembaca berita televisi. Hal yang membuat saya gatal untuk menulis adalah karena isi obrolan mereka pada dasarnya hanya ingin tampil di televisi, membacakan berita dan populer. Intinya, masalah lapangan yang menjadi kedewasaan seorang wartawan televisi, sebagaimana juga dengan wartawan media bentuk apapun adalah sekedar latar belakang saja. Yang penting pernah merasakan beberapa bulan di lapangan. Setelah itu nongol di layar. Yang mengganggu lagi adalah bagimana saya menguping kengerian dan keengganan mereka untuk tampil di daerah kotor untuk melaporkan sebuah berita. Produk mall atau produk metropolitan. Tidak terlalu ingin menjamah wilayah non-AC.

Pahit. Sebegitu parahkan image profesi wartawan televisi sehingga penampilan mereka membuat perempuan berangan-angan mejeng di layar kaca, tersenyum, menyapa pemirsa, berdandan menor lalu selesai. Kalau memang demikian berarti insan media elektronik ini mengalami krisis. Krisis intelektual, krisis pengetahuan akan berita itu sendiri dan mengubah image mereka menjadi seorang selebriti berita yang disanjung di mana-mana tapi kosong di kepala mereka sendiri?

Maaf kalau agak terlalu kasar. Tetapi penyiar berita yang besar di lapangan memang patut menyayangkan adanya pendapat masyarakat yang seperti itu. Adanya anggapan yang menganggap enteng pekerjaan penyiar berita televisi. Menganggap hal tersebut adalah suatu kesempatan untuk menjadi populer.

Teori journalistik agaknya sudah tersapu dengan demand di pasar. Teori ekonomi dalam media yang kompetitif agaknya membuat beberapa stasiun televisi agak menggeser teori jurnalistik itu sendiri. Pasar lah yang membuat hal tersebut exists. Pasar juga yang mengeluh bahwa meski content berita itu sebenarnya bagus, tetapi kalau yang membacakan itu bertampang membosankan, maka ia tidak layak untuk tampil di layar. Sayang sekali anggapan seperti ini agaknya sudah menjadi tuntutan pasar media, audience atau viewers. Walhasil, si tampang membosankan itu menjadi corong di belakang layar dan menyuarakan beritanya melalui mulut seorang penyiat berita yang cantik atau ganteng.

Tidak ada yang salah untuk menjual produk dengan kemasan yang menarik. Terutama mentalitas masyarakat kita yang suka pamer meski kualitasnya belum tentu bisa dipamerkan. Hasilnya adanya anggapan di masyarakat bahwa menjadi seorang pembaca berita itu adalah salah satu profesi yang menggiurkan dan menjanjikan popularitas saja.