Tuesday, December 27, 2005

ALI, IN MEMORIAM

Banda Aceh, 28 Desember 05
Orang yang paling melegenda di Fakultas Ilmu Budaya UI bukanlah Riris K. Toha Sarumpaet, Maneke Budiman atau Sapardi Joko Damono. Mereka kalah populer dibandingkan dengan Bang Ali, juragan es teh manis di Kansas, Kantin Sastra, UI.
Kabar yang mengejutkan datang lewat sms tanggal 17 lalu saat saya baru saja mendarat di serambi mekah. Bang Ali meninggal dunia karena leukemia. Penyakit yang ternyata sudah menjangkiti tubuh Ali sejak beberapa tahun tidak pernah ia ungkapkan ke siapapun. Terakhir saya bertemu Bang Ali adalah tahun lalu, saat saya harus berbasa-basi dengan mantan dosen pembimbing di Jurusan. Setelah urusan selesai, saya sengaja mampir ke kantin demi menemui Ali dan meminta dibuatkan es teh manis. Saat itu dengan gembira, Ali memaksa saya mencicipi siomay dagangannya. Dengan bangga Bang Ali bilang bahwa sudah sekian tahun sejak saya lulus, ia menambah jenis dagangannya dengan siomay.
Ada lagi yang membuat saya selalu teringat dengan Ali. Saat dulu saya bekerja di Denpasar, seorang teman mengirimkan foto pernikahan Ali ke saya lewat pos. Pesan Ali di secarik kertas waktu itu adalah, supaya saya tahu bahwa akhirnya dia menikah dengan gadis pilihannya. Belakangan, teman saya bercerita bahwa para mantan mahasiswa saweran untuk menyewa studio agar Ali dan istrinya bisa berpose dengan baju pengantin.
Setiap mahasiswa FIB UI (dulu Fakultas Sastra) pasti pernah mencicipi es teh manis Ali. Dulu hanya dengan Rp.400 (seringkali saya dapat gratis karena Ali sering membulatkan jadi Rp. 500), sudah lega dahaga atau lepas kepenatan mendengarkan kuliah di kelas soal Descartes atau Teori Nida.
Setelah sekian tahun meninggalkan bangku kuliah, Ali memang tetap lekat di hati mahasiswa. Terbuktti dari bejibunnya sms yang masuk ke telepon genggam saya. Bahkan seorang teman lulusan FIB juga mengatakan bahwa saat ia berada di Kamboja, seorang staf KBRI yang mantan FIB UI juga, memberikan kabar meninggalnya Bang Ali.
Ali akan selalu terkenang. Warung kecilnya yang berdempet dengan warung-warung jajanan lainnya di kantin sastra terlibat dalam sejarah perkuliahan mahasiswa FIB UI. Saksi dari digusurnya teater kolam yang dianggap menjadi ajang orasi mahasiswa jaman orde baru, saksi dari semakin bertambahnya mobil-mobil yang parkir di parkiran kampus, saksi dari keluhan mahasiswa yang tidak lulus ujian kompre dan saksi dari romantisme mahasiswa di kantin kampus.
Selamat jalan, Li. Doa kami menyertaimu.

Saturday, December 24, 2005

CHRISTMAS

Banda Aceh, 24 December 05

Ada satu hal yang teringat di benak saya saat melihat misa Natal di salah satu gereja Katolik di Banda Aceh. Saya menyadari bahwa kehidupan beragama di sekitar saya mengalami pergeseran.
Sewaktu saya kecil, Mami dan Bapak rajin mengajak kami, anak-anaknya melihat pohon Natal di rumah Oma Rompas, tetangga belakang rumah yang menganut agama Kristen Protestan. Sebaliknya keluarga Oma juga bertandang ke rumah kami saat kami merayakan Idul Fitri.
Entah kapan tradisi itu berakhir. Entah karena pada akhirnya ada perkumpulan warga setahun sekali demi kepraktisan, atau memang kampung kami di Jakarta sudah semakin individualis. Yang jelas, setelah beberapa tahun, semakin jarang kami bertemu keluarga Rompas. Selain karena semakin besar, kami disibukkan dengan urusan sekolah, kuliah dan kemudian bekerja, sementara anak-anak Oma juga berkeluarga dan meninggalkan rumah. Ada beragam alasan. Hanya saja saya menyadari bahwa semakin kami besar semakin jarang saya melihat pohon Natal di lingkungan rumah Mami dan semakin jarang kami mencicipi kue Oma.
Anehnya, Mami masih rajin membalas kartu Natal dari teman Mami di Derby, Inggris. Setiap tahun sejak saya berusia lima tahun, Mami dan Bapak selalu membalas ucapan Natal keluarga Renschaw. Di tahun Bapak meninggal, untuk pertama kalinya Mami menuliskan sesuatu di atas kertas putih kartu Natal, dibantu saya tentunya, untuk mengabarkan berita dukacita tersebut untuk keluarga Renschaw. Hingga tahun lalu, kartu Natal yang biasanya hanya berisi tanda tangan Mami, kali ini dibubuhi tulisan saya, hasil terjemahan dari ucapan Mami yang ingin berkomunikasi dengan Betty Renschaw. Padahal Betty Renschaw dan suaminya tinggal ribuan mil dari Jakarta. Sementara saya sudah tidak pernah lagi menikmati kue kering Oma Rompas.
Merry Christmas...

Sunday, December 18, 2005

PERAHU NELAYAN ACEH

Banda Aceh, 18 December 2005
Menjelang setahun setelah gelombang tsunami menghantam propinsi Nangroe Aceh Darussalam, penduduk Aceh sedikit demi sedikit mulai menikmati hasil dari bantuan luar negeri. Meski banyak juga komentar para penduduk yang mengaku tidak merasakan bantuan tersebut dengan menuduh bahwa dananya tidak sampai ke tangan mereka, paling tidak para nelayan mendapatkan perhatian khusus, terutama dari luar negeri.
Hampir sepertiga penduduk Aceh bekerja sebagai nelayan. Secara logika, kebanyakan dari nelayan di Aceh adalah orang-orang yang paling terkena dampak tsunami. Mereka kehilangan rumah dan matapencaharian karena penghidupan mereka berasal dari daerah pesisir yang terkena dampak tsunami terparah. Tetapi yang paling menyedihkan adalah, kenyataan bahwa sebagian besar dari mereka kehilangan perahu yang merupakan perangkat utama untuk mendapatkan penghasilan.
Sebelum tsunami, para nelayan mengaku kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Karena itulah, ada sedikit kegembiraan saat beberapa lembaga lokal dan luar negeri mulai membantu mereka dalam pengadaan perahu bagi para nelayan ini. Sehingga, meski masih tinggal di tenda-tenda darurat yang letaknya jauh dari pantai, mereka tetap bisa datang ke desa mereka yang sudah rata dengan tanah di pesisir pantai untuk melaut dan menangkap ikan.
Hanya saja semua usaha pasti ada dampak sampingan. Disinyalir bahwa dikarenakan sulitnya mendapatkan pekerjaan, orang yang tidak pernah menjadi nelayan sekalipun, akhirnya mendapatkan jatah perahu. Selain itu, saking banyaknya lembaga non-pemerintah baik lokal maupun internasional yang menyediakan perahu bagi para nelayan ini, dikhawatirkan bahwa perairan aceh akan kekurangan sumber daya laut, akibat terlalu banyaknya nelayan yang melaut. Apalagi jika banyak juga orang yang tadinya bukan nelayan, mendadak menjadi nelayan.
Beberapa LSM memang mengkhawatirkan hal tersebut, tetapi apabila melihat kehidupan para nelayan Aceh saat ini, paling tidak ada suatu hasil dari rekonstruksi Aceh. Di tengah gembar-gembor peringatan 1 tahun tsunami, naiknya harga bahan bakar minyak (para nelayan yang ditemui mengaku belum mendapatkan dana kompensasi BBM) mereka tetap melaut dan mendapatkan penghasilan kembali seperti semula. Tidak selamanya komentar yang mengatakan bahwa rekonstruksi Aceh itu terkesan lelet itu benar. Parahnya bencana menyebabkab proses tersebut menghadapi banyak kendala pula. Lebih baik ada ketimbang tidak sama sekali.