Sunday, February 06, 2005

80 TAHUN SANG PRAMUDYA

Jakarta, 6 February 2004


Sms dari seorang teman mengundang saya menghadiri perayaan ulang tahun Pramudya Ananta Toer hari ini, membuat saya terhenyak. Bukan lantaran saya merasa bangga mendapat undangan yang saya anggap spesial itu, tapi karena dulu saya ingin sekali buru-buru bertemu dengan Pram setelah dibebaskan, dan menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya di bilangan Bojong karena takut kehilangan kesempatan bertemu beliau bila Tuhan berkehendak lain. Kesan saya pada waktu bertemu sang Pramudya itu tidak berubah dengan imajinasi saya akan sosok Pram saat membaca bukunya. Bicaranya singkat-singkat dan jelas. Tanpa terkesan basa-basi meski kadang saya harus mengulang kata-kata saya karena kurangnya pendengaran Pram. Saya ingat betapa saya merasa seperti anak kecil yang baru saja selesai membaca Lima Sekawan seri pertama saat mendengarkan Pram berbicara soal buku-bukunya. Membuat saya belum tahu apa-apa.

Itu sekitar 3 tahun yang lalu, dan ternyata sang pencipta memberikan umur panjang pada sang sastrawan besar. Padahal sewaktu saya berkunjung ke rumahnya, ia kelihatan letih akibat baru saja sakit. Saya lupa dia sakit apa, yang jelas saya tidak diperbolehkan untuk berlama-lama di rumahnya. Undangan via sms itu mengingatkan saya pada wajah Pram yang tua yang mengatakan kepada saya bahwa pergi ke mana-mana sudah tidak kuat dan ingin menyangkul saja di kebun rumah. Namun dibalik itu, ia juga berkata dengan tajamnya betapa ia menikmati besarnya rumah beserta pekarangannya yang sengaja ia bangun hanya untuk membuktikan kepada pemerintah bahwa dia dan keluarganya tidak jatuh miskin akibat disitanya karya-karyanya dan bagaimana orang masih menghargai karya-karyanya.

Saya sudah lama mendengar nama Pram. Almarhum Ayah saya pernah menyebutnya saat saya masih duduk di bangku SMP. Tapi moment yang membuat saya curious soal Pram adalah saat saya mendengarkan pembicaraan teman-teman abang soal karya-karya Pram saya saat mengunjungi abang saya yang saat itu masih bersekolah di Wina, Austria. Saat itu buku Pram masih dilarang Kejaksaan Agung, meski demikian sudah beredar terjemahan bahasa Jermannya di luar negeri. Meski melihat bukunya di tangan teman abang saya, saya tidak bisa membacanya karena saya tidak bisa berbahasa Jerman.

Penasaran dengan nama Pram, saya berusaha mencari bukunya di Jakarta sepulang saya dari Wina. Tentu saja tidak akan bisa ketemu kecuali bergaul dengan para aktivis yang saat itu belum banyak yang saya kenal. Selain itu ada juga rasa takut untuk bertanya-tanya. Takut bertanya kepada orang yang salah. Akhirnya saya memutuskan untuk melupakan Pramudya.

Saat mengunjungi abang saya yang kedua kalinya, saya melakukan perjalanan ke Paris. Dan pada waktu itu akhirnya saya berkenalan dengan karya Pramudya yang banyak dipajang di toko-toko buku besar di Paris. Karena status saya masih mahasiswi dan uang saku saya jalan-jalan ke luar negeri terbatas, saya hanya bisa membeli satu buku saja, mengingat harganya yang mahal. Buku pertama Pram yang ada di tangan saya adalah “Le Fugitif” atau judul aslinya Perburuan. Kesan saya pada waktu itu adalah lugasnya gaya bahasa yang dipakai oleh Pram. Selain pada waktu itu saya mempunyai kesulitan berimajinasi akibat buku yang saya baca adalah hasil terjemahan yang otomatis mengalami degradasi makna, meski tidak banyak. Tapi rasasanya bahagia sekali bisa mendapatkan buku yang saat itu dilarang beredar di Indonesia. Apalagi masa tersebut, buku Pram hanya dibaca oleh para intelektual atau aktivis, sepertinya ada perasaan bangga sekali.

Hari ini sebuah koran lokal mengulas bagaimana karya Pram sudah “membumi” sebagaimana halnya dengan isi tulisannya. Tidak cuma para aktivis saja, tapi kalangan “gaul” pun sudah mulai mengenal Pram. Tidak salah memang apabila gelombang pengagum Pram sudah merambah ke lapisan masyarakat lebih luas yang haus bacaan. Bahkan ada juga yang menulis dalam sebuah buku bahwa kalangan foreigner yang ingin dianggap mengetahui sastra Indonesia agar dipandang, akan dengan lancarnya mengatakan kekagumannya pada sosok Pramudya meski mungkin hanya mempunyai satu buku Pram saja di rak bukunya.

Pramudya memang telah menjadi sang maestro sastra Indonesia. Dia tak hanya mewakili maestro-maestro sastra lainnya tapi juga membuktikan begitu kuatnya tulisan dan sastra melawan suatu rejim kekuasaan. Meski saya tidak sempat menghadiri acara ulang tahunnya yang dirayakan di salah satu apartemen di bilangan Pakubuwono akibat banjir yang menggenangi akses jalan ke rumah saya, saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada Pram. Semoga panjang umur dan tetap berkarya.