Wednesday, May 25, 2005

TING! Tak tok tak tok...

Wednesday, 25 May 2005

Ting…!Berhamburan orang-orang keluar dari kotak abu-abu. Tak tok tak tok…Langkah sepatu mulai dari yang bersol kulit buatan luar negeri sampai sepatu kets lapuk buatan Cibaduyut terdengar bak irama. Setelah hamburan ini keluar, disambut hamburan lain yang masuk ke dalam kotak. Dengan irama sol sepatu yang sama.

Setelah itu sunyi. Pintu tertutup dan dengungan halus pompa hidrolik terdengar sayup. Sunyi hingga beberapa menit.

Ting! Pintu terbuka. Sepasang sol sepatu atau lebih memecah kesunyian. Keluar masuk kotak abu-abu. Pintu tertutup. Sudah itu sunyi.



Sunyi…


(Menarik napas dalam) Macet. Macet. Kapan sih gue bisa dateng on time kalo macet terus tiap pagi!


Wah nih cewek oke juga. Lantai berapa ya….

(Melodi lagu Ada Apa Denganmu Peterpan) lalu bisik-bisik ”Halo? Halo? Yan, gak ada sinyal, nanti aku telpon balik…ha? Aku telpon balik…”

Norak banget handphone nih cewek, dasar ABG (senyum dikulum)


Ting!
Pintu terbuka
Tak tok tak tok….
Pintu tertutup.





Sunyi

Nih cowok gak keluar-keluar sih. Matanya ngeliatin gue mulu. Dasar gatel!




Ting!
Pintu terbuka
Tak tok tak tok…. Sayup-sayup terdengar suara,”Pagi Buuuu….!”
Pintu tertutup.

Sunyi.


Hari ini meeting dengan shareholder. Semoga gak ada masalah.

Mudah-mudahan orang kantor gak nyuruh ane beli makan siang di seberang jalan. Panas pisan nyebrang jembatan nyak!

Dua menit lagi meeting. Lift sialan! Lelet banget!

Masih aja ngeliatin gue! Ih, bete!Mending oke!

Sunyi…





Surat harus segera dikirim sebelum makan siang…..surat harus segera dikirim sebelum makan siang….segera…segera…..

Anakku sakit di rumah. Minta izin pulang cepat ah, hari ini….


Ting!
Permisi”, suara perempuan memacah kesunyian di elevator….
Pintu terbuka
Tak tok tak tok…..
Pintu tertutup
Bunyi pompa hidrolik…


Sunyi




Aku mau keluar saja dari kantor busuk itu! Dasar bos gak tahu diri! Huh!

Duh, telat lagi, telat lagi! Andai istri gak minta jatah tadi pagi….(
senyum sendiri, lalu sadar akan kemungkinan mata-mata lain memandang)

Oke juga si Petrus motong rambut gue kemarin…(sepasang mata melihat pantulan diri di pintu abu-abu yang dilapisi kaca)

Duh, gusti, belum kirim uang ke kampung….

Delapan, sembilan….oke…ini lantai saya

Wah, nih cewek jangan-jangan cuma beda satu lantai, kok belum pernah lihat ya?


Ting!
Pintu terbuka
Tak tok tak tok….
Pintu tertutup.


Sunyi……


Ting!
Pintu terbuka lama. Tidak ada suara sol sepatu.
Pintu tertutup.

Suara gumaman menggerutu,”Mencet-mencet sembarangan. Bikin lambat aja!”


Ting!
Pintu terbuka.
Tak tok tak tok
Pintu tertutup

Suara mendecak lalu mendesah gelisah,”Duh, kapan nyampenya sih. Berhenti mulu…”.

Ting!
Ting!
Ting!

Note: Ini cerpen emang gak ada endingnya, namanya juga lagi pengen absurd, biar kayak sastrawan. Salam.

Saturday, May 21, 2005

SANG PENTERJEMAH

Saturday, 21 May 2005
Sekarang saya merasa lebih mudah memperkenalkan sistem penterjemahan simultan kepada klien baru. Silakan nonton The Interpreter, begitu saja kata saya kalau sudah bete menjelaskan mengapa penterjemah simultan harus memakai booth (kotak gelap setinggi manusia yang biasanya diletakkan di belakang ruangan. Di JHCC atau gedung PBB New York, kotak tersebut biasanya ditaruh di atas, semacam mezzanine), dan harus dibantu partner karena setelah menterjemahkan selama lebih dari limabelas menit pikiran harus diistirahatkan agar bisa mendapatkan oksigen untuk dapat digunakan kembali saat partner kita kelelahan, dan mengapa beberapa orang tidak percaya bahwa ada orang yang bisa menterjemahkan langsung kata-kata setiap 2 detik (makanya bayarannya harus mahal, kata kolega saya yang sudah bertahun-tahun melanglangbuana di bidang penterjemahan). So, saya bersyukur akhirnya ada juga film mainstream yang menggambarkan kerja seorang penterjemah.
Meski beryukur juga tidak bernasib seperti Nicole Kidman yang dikejar-kejar pembunuh karena kebetulan mendengarkan percakapan lewat headset interpreter dari dalam booth, film yang merupakan film pertama yang scene-nya diambil di dalam gedung PBB di New York ini paling tidak membuat orang mengerti bahwa pekerjaan penterjemah memegang peranan penting.
Saya kadang suka kesal apabila dalam suatu konferensi semi-internasional atau nasional, kehadiran penterjemah kadang tidak terlalu dianggap dan hanya bagian pelengkap saja dari suatu pertemuan. Penterjemah dianggap bukan seorang expert yang mengerti esensi dari presentasi suatu workshop dan hanya sekedar menterjemahkannya. Apalagi bagi event yang belum pernah menggunakan jasa penterjemah simultan, mereka akan terkejut melihat angka quotation yang tinggi dan menganggap kami mengada-ada. Kalau saja mereka tahu rate seorang penterjemah simultan senior, mungkin mereka bisa pingsan ketimbang sekedar terkejut.
Apresiasi yang didapat dari upah seorang penterjemah adalah kompensasi dari kemampuan mengerti bahasa asing, kecepatan berpikir dalam memilih kata yang tepat dalam menterjemahkan satu kata dalam perhitungan detik, yang merupakan special skill yang belum tentu dimiliki orang yang sangat fasih berbahasa asing. Mungkin dosen saya akan lebih bisa menambahkan elemen-elemen apa lagi yang bisa ditambahkan sebagai alasan kompensasi di atas.
Hanya even berskala internasional saja misalnya Konferensi Asia Afrika bulan lalu, yang memang sudah terbiasa mengandalkan kemampuan penterjemah, mengerti tugas penterjemah. Bukan hanya itu saja, partner saya bahkan sampai terharu melihat bahwa President Afrika Selatan melambaikan tangan ke arah booth kami (maklum baru pertama kalinya sejak kami "dijodohkan" menterjemahkan kepala negara dunia). Meski tidak sampai bercururan air mata, dia masih sangat berbahagia, mungkin lebih dikarenakan presiden kita sendiri tidak menoleh sedikitpun ke arah booth penterjemah.
Untuk dapat menterjemahkan dengan baik dan lancar, seorang penterjemah simultan harus cukup tidur malam sebelumnya. Jadi pada saat menterjemahkan keesokan paginya, pikiran juga jernih dan pada saat mendengarkan pidato dari headset dan bicara lewat microphone dalam waktu yang hampir bersamaan dengan pidato tersebut, kantuk tidak gampang menyerang dan konsentrasi juga akan lebih terjaga. Apalagi jika pembicara memiliki tempo bicara yang lumayan cepat. Walhasil kalau konsentrasi terpecah maka tidak akan ada satupun kata yang dikeluarkan dari mulut penterjemah dan cenderung mendengarkan pidato lewat headset. Dalam keadaan ini biasanya para peserta rapat yang mendengarkan terjemahan lewat headset masing-masing akan menoleh ke arah booth dengan padangan menunggu. Belum lagi apabila pembicara menggunakan aksen tertentu, hasilnya adalah kerja dua kali lipat, menebak-nebak kata apa gerangan yang disebutkan oleh pembicara beraksen unik tersebut,
Jadi, meski belum dapat menempatkan diri sebagai senior simultaneous intrepreter, lewat tulisan ini saya hanya ingin memperjelas keunikan tugas, kemampuan baik fisik maupun mental, harga diri, tingkat kesulitan dan penghargaan yang patut diterima bagi para rekan-rekan penterjemah di Indonesia, tidak hanya penterjemah simultan, tapi juga penterjemah tulisan (lebih disebut sebagai translator dalam bahasa Inggris) dan penterjemah konsekutif (menterjemahkan dengan cara menunggu beberapa kalimat pembicara selesai, dan menterjemahkan maksudnya kemudian).
Wajah dan bentuk tubuh penterjemah simultan memang tidak terlihat oleh publik dan televisi karena terselubung oleh booth dan meski juga dalam kehidupan sehari-hari saya belum pernah bertemu dengan penterjemah dengan paras seperti Nicole Kidman dalam The Interpreter, tapi dalam suatu kesempatan, apa yang diucapkan dari mulut mereka adalah gantungan para pemimpin dunia untuk dapat mengerti dan merespon terhadap kata-kata dari lawan bicaranya. Sekian.